Diberi Rp 300 miliar, minta Rp 2 triliun. Itulah Merpati Nusantara Airlines (MNA). Pepatah Melayu lama mengatakan diberi sejengkal minta sehasta, diberi sehasta minta sedepa. Di dalam bahasa Betawi itu namanya ngelunjak.
Masih segar dalam ingatan kita bahwa maskapai penerbangan milik negara ini baru saja menerima dana talangan atau bail out dari Pemerintah sebesar Rp 300 miliar tahun lalu. Kini tersiar kabar bahwa maskapai ini masih memerlukan dana talangan “susulan” yang justru lebih besar daripada yang sebelumnya yaitu sebesar Rp 2 triliun. Hal ini diberitakan melalui media oleh Boyke Mukizat, Direktur Utama PT PPA (Perusahaan Pengelola Aset). Menurut sumber ini hutang Merpati tahun lalu tercatat sebesar Rp 2, 2 triliun. Tahun ini hutang tersebut sudah berkurang menjadi Rp1,6 triliun, dimana kebanyakan dari hutang ini adalah kepada Pertamina, PT Angkasa Pura I dan PT Angkasa Pura II. Proses restrukturisasi Perusahaan sudah selesai, tapi Merpati masih memerlukan dana talangan tambahan ini untuk pengembangan usahanya di kawasan timur Indonesia (Katimin), antara lain untuk menambah armada pesawat baru sebanyak 16 buah.
Sebenarnya, masalah apa yang sedang dihadapi oleh Merpati? Mengapa alih-alih memberi deviden, maskapai ini malah selalu meminta dana talangan baru kepada negara? Sampai kapan hal seperti ini akan terus berlanjut? Kalau dana talangan yang diterima Merpati tahun lalu adalah yang Rp 2 triliun, dan tahun ini masih memerlukan dana tambahan lagi sebesar Rp 300 miliar, kedengarannya masih masuk akal. Karena, siapa tahu bahwa asumsi-asumsi yang dipakai sebagai dasar perhitungan dulu sudah berubah sehingga memerlukan koreksi atau penyesuaian. Tapi karena permintaan ini justru sebaliknya, maka kesan yang timbul adalah bahwa Merpati tidak konsisten dengan rencana perubahan jangka panjang yang dulu diajukannya. Kemungkinan lain adalah bahwa Merpati bukannya melakukan koreksi tapi justru membuat perencanaan jangka panjang yang sama sekali baru. Kalau benar demikian, apakah perencanaan baru ini sudah disetujui oleh Pemegang Saham? Hanya Direksi Merpati saja yang mengetahuinya.
Sebagaimana halnya dengan maskapai-maskapai penerbangan lain di dalam negeri, Merpati juga menghadapi masalah-masalah didalam kegiatan usahanya seperti, masalah keuangan, masalah operasional, masalah efisiensi biaya, masalah pemasaran dan lain-lain. Tapi yang unik pada Merpati adalah bahwa masalah-masalah tersebut bersifat derivatif, bersumber dari masalah-masalah lain yang lebih mendasar. Sebagai badan usaha, sejak lama Merpati menghadapi masalah yang tidak dialami oleh maskapai penerbangan lain, yaitu masalah raison d’être yang tidak jelas. Masalah raison d’être atau tujuan keberadaan badan usaha ini tidak bisa diatasi oleh Komisaris atau Direksi maupun Karyawan saja. Masalah ini hanya bisa ditangani oleh pemiliknya sendiri yaitu Pemerintah, dalam hal ini Kemeneg BUMN. Untuk itu, Kemeneg BUMN selaku Kuasa Pemegang Saham telah memutuskan untuk memindahkan kantor pusat dan bandara induk (home base) Merpati dari Jakarta ke Makassar sebagai implementasi dari perubahan raison d’être ini. Seyogyanya, kepindahan lokasi ini diikuti dengan penjabaran-penjabaran teknis yang menunjukkan jati-diri Merpati yang baru sebagai badan usaha angkutan udara niaga nasional. Penjabaran teknis ini harus tercermin didalam perencanaan strategis jangka panjang terutama hal-hal yang berkaitan dengan perencanaan armada, jaringan operasi penerbangan dan pemasaran. Sebagai contoh, banyaknya jenis pesawat yang dimiliki oleh Merpati, dimana masing-masing jenis hanya terdiri dari 2 sampai dengan 5 unit, adalah sumber in-efisiensi utama dalam hal biaya operasional. Sebagai maskapai milik negara tapi memesan pesawat made in China (jenis MA-60) yang konon tidak bersertifikasi FAA (Federal Administration of Aviation), dan dengan harga yang sangat, sangat mahal, adalah satu diantara banyak contoh-contoh in-efisiensi di dalam tubuh MNA. Perencanaan armada yang sesuai dengan perencanaan route yang baru harus sudah masuk ke dalam buku cetak-biru. Begitunya juga tentang revitalisasi operasional dan pemasaran. Sayangnya hal ini belum pernah kita dengar hingga kini, sementara proses kepindahan ke Makassar dan program penciutan karyawan juga belum tuntas.
Sudah waktunya kini bagi Merpati untuk tidak lagi bermimpi menjadi bayang-bayang dari “saudara tua”, Garuda Indonesia. Jadilah dirimu sendiri, banggalah dengan jati-dirimu yang asli, atau dilikuidasi! Bagi MNA hanya ada dua pilihan yang bisa diambil yaitu, berubah atau mati! Yang harus dicamkan oleh kita semua adalah bahwa the ultimate owner dari semua BUMN adalah rakyat yaitu, kita. Rakyat berhak untuk mendapatkan laporan yang transparan tentang bagaimana BUMN-BUMN kita dikelola secara benar.
Jakarta, 11 Maret 2010
Suhandi Taman Timur
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H