Lihat ke Halaman Asli

SBY Orang Indonesia Asli

Diperbarui: 26 Juni 2015   19:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Judul diatas tidak merujuk kepada Pasal 6 ayat 1 UUD 1945 versi sebelum di amandemen untuk pertama kalinya pada tanggal 19 Oktober 1999, yang berbunyi “Presiden ialah orang Indonesia asli”. Kita semua mengetahui bahwa Presiden SBY memang orang Indonesia asli (indigenous) kelahiran Jawa Timur. Sedangkan bunyi pasal 6 ayat 1 UUD 1945 yang berlaku sekarang, versi sesudah Amandemen ke 4, sudah tidak lagi menyinggung masalah asli atau tidak-aslinya kewarga-negaraan Presiden RI.

Yang saya maksud dengan kata asli (tulen, genuine) dalam judul diatas adalah sebagai tanggapan atas wacana yang muncul di masarakat setelah diumumkannya susunan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) yang ke dua. Banyak sudah pandangan yang dilontarkan oleh para pengamat atas keadaan politik terkini negeri ini, dan semuanya berpusat pada diri SBY. Segala sepak-terjang SBY, baik dalam hal memilih Calon Wakil Presiden, memilih mitra koalisi maupun memilih Menteri-Menteri dalam kabinet tidak bisa di analisis secara parsial. Semua bersumber dari karakter SBY sebagai pribadi, yang sangat Indonesia-wi (baca: n’Jawani). Walaupun SBY adalah perintis, pendiri dan Ketua Pembina Partai Demokrat, tapi ia tidak mengadopsi secara bulat-bulat prinsip demokrasi à la Eropa atau à la Amerika Serikat. SBY memang terbuka dan siap untuk menerima pandangan-pandangan pihak lain yang berbeda dengan kebijakannya, tapi secara kasat mata kita melihat bahwa ia sangat sensitif, bahkan ”alergi” terhadap sikap oposisi.

Neo-feodalisme à la Indonesia

Sebagaimana halnya dengan banyak pemimpin-pemimpin Indonesia lainnya, SBY juga tidak mampu melepaskan dirinya dari kecenderungan sifat feodal. Oposisi terbuka yang frontal seperti dianggap tabu. Gaya feodal ini adalah pengejawantahan dari prinsip sabdo pendito ratu. Di dalam prinsip ini, orang lain dipojokkan pada posisi untuk harus mengerti sendiri pesan Sang Raja, walaupun pesan tersebut tidak (pernah) terucap secara verbal. Banyak contoh yang dapat kita amati.

PDI-P, misalnya adalah partai yang mengusung prinsip Demokrasi, seperti yang tercantum di dalam nama partai-politik ini. Tapi di lingkungan intern partai ini berlaku prinsip yang lain. Saya tidak tahu prinsip apa yang sebenarnya berlaku disana, entah feodal entah diktatur, tapi yang jelas bukan demokrasi. Eros Djarot adalah orang Jawa yang memiliki cakrawala internasional. Ia tidak mengerti adanya peraturan yang tidak tertulis disana, yaitu dilarang mencalonkan diri sebagai Ketua Umum partai. Akibatnya ia tersingkir. Gus Dur diakui oleh banyak pihak sebagai tokoh demokrat yang egaliter. Tapi di lingkungan intern, baik di NU maupun di PKB ia sama sekali tidak demokrat. Matori Abdul Jalil, Alwi Shihab dan Muhaimin Iskandar adalah orang-orang yang berani berpendapat lain dengan Gus Dur, yang mendapat perlakuan tidak demokratis oleh Gus Dur. Hal ini pernah ditegaskan oleh putri sulung Gus Dur, yaitu Yenny Wahid yang mengatakan bahwa PKB adalah Gus Dur, Gus Dur adalah PKB. Jadi jangan coba-coba untuk bersebrangan dengan Gus Dur.

Sebelum Pilpres 2009 yang lalu, banyak orang yang kasihan kepada JK yang bukan orang Jawa. Dia tidak mengerti, bahwa dirinya diposisikan untuk memaklumi sendiri bahwa ia sudah tidak dikehendaki lagi. SBY ingin maju mencalonkan diri lagi sebagai Capres dan tidak mau berpasangan lagi dengan JK, tapi tidak mampu untuk mengutarakannya secara jelas kepada yang bersangkutan. Sebagai akibatnya, masa pendukung SBY-JK pada waktu itu terbelah dua. Pendukung SBY, yang mengerti pesan non verbal SBY, merasa risih karena JK seperti pura-pura tidak mengerti. Sebaliknya pendukung JK, yang memang tidak mengerti maksud SBY, merasa risih dengan sikap SBY yang tidak jelas. Ada kendala di dalam diri SBY untuk bersikap vokal dan terbuka kepada orang lain. SBY rela untuk menahan beban mental yang dideritanya selama 5 (lima) tahun untuk berdiam diri, dan baru sekarang setelah Wapres-nya Boediono, beliau mampu mengucapkan, bahwa “tidak ada Keputusan Wakil Presiden”. Mungkin beliau sekarang sudah lega karena apa yang ingin disampaikannya sejak tahun 2004 akhirnya terucapkan juga.

Sisi negatif dari prinsip gotong-royong

Di dalam bukunya Pengantar Antropologi, Prof Koentjaraningrat pernah mengulas tentang segi negatif dari sifat gotong-royong bangsa Indonesia. Menurut Koentjaraningrat, di dalam sistim gotong-royong, tidak ada penghargaan atas kinerja individu. Segala sesuatu dilakukan secara bersama-sama dan hasilnya menjadi milik bersama dan dinikmati bersama-sama. Kinerja kolektif tidak boleh dikreditkan kepada orang per orang secara individu. Contohnya, adalah kasus lagu Rasa Sayangé yang katanya dibajak oleh Malaysia. Sudah jelas bahwa lagu itu adalah lagu rakyat Maluku, tapi penciptanya tidak diketahui siapa? Umumnya lagu-lagu rakyat kita tidak dikenal siapa penciptanya. Sebaliknya, bila terjadi kegagalan maka kegagalan inipun menjadi kegagalan bersama dan menjadi tanggung jawab bersama pula. Di dalam sistim seperti ini tidak ada motivasi bagi individu untuk mengambil inisiatif dan/atau mengambil tanggung jawab. Sifat gotong-royong ini juga tercermin dalam sikap politik SBY. Ada kecenderungan dalam diri SBY untuk memilih para pembantunya yang mempunyai karakter yang sama. Karakter-karakter “kuat” seperti JK, Adhiyaksa Dault, Siti Fadilah Supari, dan lain-lain, sudah dapat dipastikan tidak mempunyai kemistri (chemistry) yang kompatibel dengan SBY. Khusus untuk Siti Fadilah Supari, saya tidak mengatakan beliau sukses sebagai Menteri. Dalam kasus flu burung misalnya, waktu ditanya mengapa jumlah kematian akibat wabah ini di Indonesia lebih besar dari Vietnam, beliau menjawab secara sederhana bahwa hal itu wajar karena penduduk Vietnam lebih sedikit daripada penduduk Indonesia. Beliau ini tidak sadar bahwa negara Cina dengan jumlah penduduknya yang hampir 6 (enam) kali lipat dari jumlah penduduk kita juga mempunyai angka kematian yang lebih rendah dari negara kita. Sewaktu wabah flu babi mulai menghantui dunia dari benua Amerika Selatan, beliau berkata dengan enteng bahwa penyakit tersebut tidak perlu ditakuti karena virusnya hanya bisa hidup di negara-negara yang mempunyai empat musim. Sekarang, setelah wabah ini benar-benar mendunia, beliau tidak pernah mengutik-ngutik pernyataan itu lagi. Dalam kasus Siti Fadilah Supari, yang menjadi “masalah”, atau lebih tepat disebut “ganjalan” adalah keberaniannya untuk memutuskan kontrak kerjasama riset Namru dengan Amerika Serikat. Di mata rakyat banyak tindakan ini adalah sesuatu yang patriotik, tapi di sudut pandang mata SBY kasusnya berbeda. Di dalam suatu komunitas, dimana jiwa atau semangat gotong-royong sangat kuat, peran seseorang yang lebih menonjol dari yang lain menjadi hal yang aneh. Satu-satunya figur menonjol yang “selamat” dari kategori non-kompatibel di dalam KIB jilid 2 ini adalah Menkeu Sri Mulyani Indrawati.

Saya mempunyai keyakinan bahwa SBY tidak mempunyai niat untuk menjadi diktator di Indonesia. Dia juga tidak bermaksud untuk membelenggu DPR menjadi rubber stamp seperti di jaman Demokrasi Terpimpin dibawah Presiden Soekarno atau jaman Demokrasi Pancasila dibawah Presiden Soeharto. SBY dengan jiwanya yang penuh dengan semangat gotong-royong ini “enggan” mengambil tanggungjawab sendiri. Oleh sebab itu, ia berpendapat bahwa sebaiknya kita semua bergotong-royong di dalam Kabinet Indonesia Bersatu. Jangankan hanya Golkar dan PDI-P, mau ditambah dengan Partai Hanura dan Gerindra pun akan disambut dengan tangan terbuka bila ingin bergabung. Untuk itu, kenapa harus repot-repot beroposisi segala?

Jakarta, 26 Oktober 2009

Suhandi Taman Timur

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline