Lihat ke Halaman Asli

Bung! Energi Baik Itu Bernama Optimisme

Diperbarui: 16 Agustus 2018   01:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekitar pukul empat sore, ketika saya sedang menikmati kopi sambil menonton YouTube di sebuah rumah kopi di kota Ambon. Samin, seorang kawan saya datang menghampiri, wajahnya lesu, kedua keningnya layu dan tatapan matanya sayu. Ia memang sedang mengurusi kelengkapan administrasi agar dapat diwisudakan pada akhir Agustus mendatang.  

"Ale pengurusan bagaimana?" saya langsung bertanya sebelum ia sempat duduk di kursi. Dari wajahnya memang tergambar jelas, bahwa hal itu tak berjalan baik. Namun agar ia mau bercerita, pertanyaan retoris itu saya lontarkan.  

"Seng tau lai e, beta su menyerah" dia menjawab. "Kanapa barang?" saya kemudian menimpali. "dosen putar-putar beta, antua seng mau tanda tangan"

Bukanlah hal yang baru di Kampus kami kalau mengurusi hal-hal kemahasiswaan tidak kalah ruwetnya dengan naturalisasi pemain asing yang hendak menjadi WNI. Prosedurnya cukup panjang dan berbelit. Hal ini diperburuk dengan sistem Informasi Akademik (SISMIK) yang tidak bisa diakses secara daring menjadikan hampir semua hal dilakukan secara manual. Mulai dari menawar mata kuliah sampai pengembalian KRS (Kartu Rencana Study) dan DNS (Daftar Nilai Sementara).   

Apalagi pada masa akhir studi, perihal mendapatkan tanda tangan dosen dan cap dari pegawai administarsi mulai dari tingkat rektorat, fakultas, sampai program studi menjadi perjalanan panjang yang harus dilewati sebelum dapat melempar toga ke udara.

Setelah duduk beberapa saat, ia kemudian bercerita perihal perjuangan ia meraih dalam meraih toga. Saya kemudian teringat sebuah novel fenomenal berjudul The Old Man and The Sea (Lelaki Tua dan Laut) karya pengerang legendaris Amerika, Ernest Hemingway. Novel memukau yang membangkitkan optimisme ini, bercerita tentang perjuangan luar biasa seorang nelayan tua Kuba yang seorang diri berusaha menangkap ikan Marlin raksasa selama 84 hari di laut lepas. Perjuangan pantang menyerah sang lelaki tua dalam mencapai tujuannya mengajarkan kepada kita bahwa, kesabaran, ketabahan dan kegigihan dalam menghadapi cobaan hidup tak akan berakhir sia-sia. Optimisme adalah energi baik yang harus setiap orang sebab betapapun sulitnya suatu perjuangan pada akhirnya hasil tidak pernah menghianati usaha.

Namun pada kenyataannya, persoalan yang dihadapi manusia moderen menjadikan optimisme hanyalah tumpukan debu karena habis terbakar oleh bahan-bahan berbahya seperti dengki, cemburu maupun galau.

Banyak pendapat yang mengemukakan bahwa manusia modern ialah mahkluk yang cenderung individualistis. Maka tak heran kandungan rasa dengki sangat tinggi. Dalam perkuliahan  misalnya, seorang dosen yang mengatakan "nilai A milik Tuhan, nilai B milik saya sedangkan nilai C adalah milik kalian" dapat memicu kedengkian sangat tinggi dalam diri seorang mahasiswa.

Selain itu, dalam menjalin hubungan rasa cemburu hadir sebagai alter ego rasa sayang. Rasa ini sangat panas dan mudah sekali terbakar dan pada kadar tinggi dapat menyebabkan kebutaan, oleh karena itu ada istilah cemburu buta.

Selain dua hal di atas, satu yang tak kalah bahayanya ialah perasaan galau. Dewasa ini ia menjadi persoalan serius bangsa ini sekaligus ancaman terhadap pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Apalagi generasi zaman now dengan segala kompleksitas masalah yang dihadapinya sangat mudah sekali terpapar radiasi galau.  

Dan pada akhirnya keyakinan adalah jawaban atas berbagai macam persoalan yang kita hadapi.

***

Catatan:

Ale= Kamu
Seng= Tidak
Putar-putar= PHP




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline