Kedamaian Batin
Aku terpaksa banting setir, cari pekerjaan yang tak ada sangkut pautnya dengan agama, aku takut kalau ketika di persidangan nanti, ternyata aku termasuk ke dalam kategori orang-orang yang hidup dari agama, bukan menghidupi agama, ini tentu memalukan dan bukan aku banget.
Omongan, jangan ditanya, sudah banyak yang menyuruh ke sini, ke sana, ke mana saja yang penting satu, nah betul! Banyak uangnya, sudah seolah itu saja patokan KESUKSESAN yang paling disepakati oleh kebanyakan penduduk Bumi ini.
Terkadang, aku setuju. Terkadang juga tidak, tergantung bagaimana kondisiku.
.
Bang Gani telah banyak membantuku; banyak sekali, mulai dari tempat kerja, ijazah palsu, surat keterangan lulus palsu, dan banyak lagi kepalsuan yang sudah diberikannya kepadaku secara cuma-cuma.
Sudah 3 bulan lamanya aku bekerja di tempat kerja yang infonya aku dapat darinya. Bahkan, motor, servis motor, itu dia semua yang memfasilitasi. Kren kan? Iyalah dia sudah menikahi Jani, Kakak perempuanku.
Tak lupa ketika hampir waktunya gajian tiba, aku sudah melist, he cukup banyak sekali keinginanku; skin care (ini harganya hampir setara dengan uang bensinku selama sebulan), 'Padahal aku laki-laki,' orang-orang terdekat pun pernah memprotes sikapku itu, hah tapi bodo amat lah! Duit duit siapa memang?
Belum lagi pengeluaran nongkrong, nah di sini aku serasa mendapatkan insight baru dan mind blowing sekali!
"Mail, gajilu tuh dikit banget, belum UMR, pindahlah ke tempat kerja lain, mau maunya sih lu kerja kayak zaman penjajahan, gaji enggak seberapa, tenaga dipake udah kalah kalah kebo," gelak tawa pecah, aku pun ikut tertawa untuk tetap seolah bisa mengikuti alur gaya pergaulan teman-teman nongkrongku.