.
Mereka sudah duduk bersama di kediaman Sukhpbkds. Bibi Jariyya sudah terlihat cukup tua, lalu anak gadis yang di sampingnya, kini sudah besar, dulu kurasa masih kecil. Perbincangan kami sudah banyak juga, tentang yang tak penting pun sudah dibicarakan.
Setelah basa-basi itu, tiba juga masanya. "Suk. Ukhud sudah lama tak kamu tengok. Tentu dia di sana bertanya-tanya, 'siapa Ayahnya, ke mana Ayahku?' Kalau pun kamu memang---sangat membenci keluarga Nateg Belysa. Tapi, tentu tidak kan dengan darah dagingmu?"
Pertanyaan itu bagai bumerang berang, liar terbang-terbang mencabik penjara hatiku tegelap dan terdalam. Aku tertunduk. Sepertinya Bibi juga tahu, kalau pembicaraan ini sangat sensitif sekali, dia pun ikut diam dan belum melanjutkan lagi pembicaraannya.
"Nanti lah kapan kapan Bi, belum tahu pastinya." Tergores jelas penyesalan pada wajahnya, trouma yang menadalam. "Atau kamu mungkin ada niatan lagi mencari pendamping hidup dari sana, kan tak semua wanita di sana berkarakter seperti mantan istrimu." Wah ini bahaya, sangat bahaya.
"Bi, ini bibi perlu ingat betul. Saya tidak akan pernah mau lagi mencari, mengambil siapa pun yang berasal dari sana, atas satu orang itu cukup membuatku memperhitungkan, mempertaruhkan banyak hal. Sudah kututup total---jalur Nateg. Terserah orang mengecapku apa, bukan urusan mereka."
Pesanggrahan, samping Toko Inez Accessories, Ahad 280124, 13.55, halub
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H