Keoptimisannya membelah udara
Tak ada ragu
Tak ada takut
Membentangkan sayap
Mengais rezeki
Yakin, kalau nanti akan kembali,
Ke rumah, tempat awal mula segalanya.
Tak terbesit sedikit pun curiga,
Begitu pun tanda-tanda
Kefanaan dunia ini berhasil,
Menutupi semuanya.
Agar tampak baik-baik saja.
Kepakan sayapmu
Bhineka tunggal ika:
Berbeda-beda tetapi tetap satu.
Sudut-sudut perumahan hari ini,
Nampak segar untuk disudahi lebih dini,
Ada magnet tersendiri.
Tidak seperti biasanya aku berputar lebih lama.
Rasanya---udaranya pun terasa lebih sejuk.
Teringat juga di penerbangan ini,
Akan anak-anakku yang butuh asupan gizi,
Pertumbuhan mereka, tanggung jawabku.
Biarlah, meski ada yang berkicau,
Tentang ideologi 'tak usah punya keturunan.'
Kalau pun benar begitu,
Tentu setiap dari pemilih tahu,
Akan dampaknya ke depan.
Lebih-lebih kalau memang alasannya:
Malas, enggak mau bertanggung jawab,
Terhadap keturunan mereka.
Mengapa tidak,
Dari pada, asal-asal-an punya anak,
Lalu ketika anaknya bermasalah,
Semuanya disalahkan, kecuali dirinya.
Lebih ke menernak dari mendidik.
Hanya ada di waktu salah,
Ketika sedang berprestasi?
Diam, bisu.
Memang, generasi korban dari orangtuanya sendiri.
Kepakan sayapku masih mengepak asyik.
Angin-angin pun sangat membantu,
Untuk itu.
"Tenang, anak-anakku, aku akan bawakan asupan bergizi tinggi." Cuit merpati.
Semakin jauh---ia mengepakkan sayapnya.
Whuuuuz! Angin berhembus lebih kuat dari sebelumnya.
Suara angin bersatu dengan deru mobil FRUAAKKK! Nahas telah tercatat di sana, merpati tak mampu menghindari kencangnya mobil.
Ia tertabrak. Gepeng. Hilang sudah keoptimisan itu. Sedang, anak-anak burung bercuit tak henti menunggu orang tuanya.
.
Cileungsi, Rabu 15 Feb 2023, 20:45, halub
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H