.
Melintasi jalan-jalan baru lagi asing, membawa harap dari tanah tumpah darah. Sayup-sayup merangkak, bertahap, pelan-pelan, khayalan juga harapan yang disatupadukan, menuju penguasaan tanpa syarat. Lihai dalam banyak hal, ngomong di depan lain, di belakang lain, teknik dasar. Kalau benar masih mending. Sudah keliru masih masih berupaya sekuat semesta untuk tetap benar. Luar biasa.
Yang banyak omong pandirlah; omongan yang penuh intrik, tetaplah begitu, kelak semua akan terjabarkan. Tanpa sengaja, tanpa dipaksa. Menyinyirlah terus, sebab pandir tak pernah nyinyir, dan bukan seorang yang nyinyir.
Kecuali ketika ranah kehormatannya ternodai, meski sangat layak dinodai. Jangan tanya sebab apa. Karena sebab-musabab tak akan lagi mampu menaklukkan pandir nyinyir, yang ke sana ke mari mencari simpati dan empati.
Biarpun hati telah mati, buat apa susah menghidupkannya. Oh iya, mana ada yang mati hatinya sadar akan setiap pembenarannya. Pandir tak pernah nyinyir untuk tiap-tiap kelakuannya yang kotor.
Kepantangan yang paling pantang untuk mencari pembenaran dengan cara yang kotor, kalau ada cara yang bersih, buat apa dengan cara yang keji nan kotor itu, menyedihkan. Pandir mau jalan-jalan dulu, suntuk, ngantuk melulu.
Siapa yang berani-beraninya mengatai pandir itu nyinyir, pandir itu pintar, kalian semua bedebah di ujung gaji. Pintar-pintar begitu dibilang nyinyir, bahkan ada yang bilang pandir itu bodoh, sungguh kalian kasar tak beretika dan berotak.
Pandir tidak nyinyir dan selalu benar.
*