Senja itu begitu damai. Seorang lelaki paruh baya duduk termenung menghadap laut. Tatapannya begitu teduh, laksana mega yang memerah saga dilangit barat. Orang- orang kampung memanggilnya Abah Darma. Memang, tak ada satu orang pun di kampung itu yang tahu tentang Abah Darma. Lelaki tua yang kini menghabiskan hari tuanya di tepian pantai selat sunda, dulunya seorang kaya raya. Dia adalah salah seorang pejabat penting di negeri ini. Tapi kini ia menghabiskan hari tuannya hanya berdua denganku, tinggal di sebuah rumah sederhana di tepi pantai. Padahal anak- anaknya yang tinggal di Jakarta hidup kaya raya. Ada yang menjadi pejabat tinggi dan ada juga yang menjadi pengusaha sukses. Harta, kemewahan, pangkat dan jabatan, sudah membuatnya mual. Dia seperti melihat bangkai tikus jika melihat orasi partai politik di Televisi. Maka ketika televisi menayangkan diskusi pemilu dia langsung mengganti channelnya atau bahkan, mematikan pesawat Televisi itu.
"Mon, Mamon. Kemarilah," panggilannya membuyarkan lamunanku. Akupun menghampirinya. "Mon, sungguh miris para pemimpin di negeri ini. Mereka dengan suka cita menyia-nyiakan amanat rakyat." Gumamnya lirih, sembari mengelus- elus punggungku. Aku melihat lukisan kegetiran di raut wajah tirusnya. Matanya yang sudah kelabu kini menahan deraian- deraian bening. Sudah tujuh tahun aku menemani dia di pantai ini. Banyak suka dukanya yang sudah kusaksikan. Semua anaknya sudah tak lagi menyayanginya. Tapi akhir- akhir ini mereka ingin mengurusi orang tuanya yang sudah tua renta itu. Mungkin kasihan melihatnya hidup susah atau ingin menebus dosanya yeng telah dilakukan pada orang tuanya. Tapi abah Darma tidak sudi dengan niat anak- anaknya itu. Suatu hari ketika anak sulungnya datang ke rumah, hendak menjemputnya dari rumah itu, Tapi Abah Darma marah- marah.
"Aku tidak mau tinggal bersamamu. Bukankah dulu kau tidak peduli denganku."
"Itu dulu pa, aku akui, aku salah. Untuk itu aku minta maaf pa. Maka dari itu tinggallah bersamaku pa,"
"Paling kamu kesisni ada maunya. Percuma! aku tidak mau." Abah darma mencibir.
Anak sulung Abah darma mengerutkan dahi sejenak, kemudian melempar pandangannya ke arah laut di samping halaman rumah Abah Darma. Dia lalu memohon- mohon kepada Abah Darma.
"Boleh saja papa tidak percaya padaku. Dulu aku memang salah. Memaksa papa untuk melakukan praktek suap demi ambisiku. Aku sudah tega mengorbankan orangtuaku sendiri untuk kepentinganku. Tapi sekarang, aku mau berubah pa, demi Tuhan pa, aku datang kesini ingin menebus semua kesalahan- kesalahanku."
"Percuma kalau anjing sudah suka makan kotoran," jawab Abah Darma tegas, sembari menghisap rokok kreteknya yang hampir habis. "Segala cara dihalalkannya. Sumpah dan janji di lalapnya. Sekali lagi tidak! Aku tidak sudi tinggal dengan anak durhaka sepertimu. Dulu kamu merengek- rengek minta bantuan padaku agar kamu menduduki jabatan penting di ibu kota. Aku rela berkorban untuk anak kesayanganku, samapai aku masuk penjara karena peraktek suap untuk menolongmu, tapi balasannya apa? Ketika seekor tupai tua ini jatuh dari lompatannya, dan terperosok ke dalam bui, apakah kamu menolongnya, tidak, 'kan? Dan sekarang kamu datang kesini mau minta bantuanku lagi 'kan? Aku juga tahu, kalau televisi sedang ramai memberitakan kasus korupsimu."
Anak sulung abah darma itu tertegun. Terlihat riak air mukanya yang memerah, mungkin ia malu atas semua perbuatannya. Atau tidak malu melainkan kecewa, karena rencananya gagal. Aku yang sejak kecil tinggal dan dirawat oleh Abah Darma, tahu bagaimana perasaannya selama ini. Drama kehidupan keluarga ini sudah lama mengalami konflik. Aku hanya bisa menyaksikan dari tempat yang agak jauh. Mana mungkin aku bisa melerainya, Abah Darma naik pitam. Ia marah.
"Sekarang tinggalkan rumah ini. Aku tidak sudi lagi melihat muka busukmu." bentak Abah Darma.