[caption caption="Pak Tjiptadinata Effendi dan Bu Roselina Effendi"][/caption]
Teriring salam dari jauh saya tuliskan surat ini. Harapan saya hari ini Pak Tjip dan juga Bu Rose dalam keadaan sehat, dan masih aktif mengisi hari demi hari dengan banyak rencana-tindakan baik dan kebahagiaan.
Saya sendiri terus belajar untuk memaknai setiap kebaikan yang saya rasakan, meski dalam keterbatasan (pengetahuan, pengalaman, prestasi, finansial), untuk menuliskannya dengan jujur-sederhana mengikuti jejak dan gaya Pak Tjip dan Bu Rose dalam bertutur.
Hampir setiap hari bila membuka komputer, saya sempatkan mencermati tulisan Pak Tjip. Meski tidak seproduktif Pak Tjip, tulisan Bu Rose pun selalu menarik untuk disimak. Artikel demi artikel yang sarat pesan, cerita yang kadang begitu tragis dan kadang melankolis bahkan sering menyimpan kejenakaan yang memaksa diri ini untuk meringis. Piwai betul cara bapak dan ibu membuat alur cerita, dengan meramu kisah hidup penuh hikmah dan kearifan yang berada disebaliknya.
Pak Tjip si penebar asap kebaikan,
Mendung mulai menggayuti langit di atas Pulau Jawa, demikian pun agaknya persoalan asap masih membebani langit Pulau Sumatera dan Kalimantan. Tapi surat ini bukan soal asap dan langit, cuma mengingatkan pada pepatah lama….”tak ada asap kalau tak ada api”.
Melalui banyak tulisan, Pak Tjip selalu berasap. Dan perjalanan hidup yang panjang selama ini menjadi apinya. Api itu muncul karena Pak Tjip senantiasa patuh pada pedoman dasar bercerita dari sisi baiknya. Itu berarti bapak menanggapi apapun yang terjadi dalam kehidupan ini – baik atau buruk dalam pandangan kita- tak lain adalah terlaksananya sebuah rencana (ujian-cobaan-halangan) untuk berlakunya rencana lain kemudian yang sama sekali belum kita ketahui.