Suatu pagi cerah, Bang Brengos memergoki seorang kawan lama. Ia sedang mengudap di warteg. Belasan tahun lalu ia pernah ketemu. Tangan kanan memegang sendok, jari tangan kiri mengepit sebatang rokok kretek.
Celana panjang, kaos oblong merah dirangkap dengan kemeja hijau yang dibiarkan tanpa dikancing. Juga kacamata berlensa gelap. Layaknya gaya remaja tahun 80-an. Sejenak Bang Brengos terpana, dan mengamati agak beberapa saat. Diantara sibuk mulut menerima suapan dan isapan rokok, bercelotehlah ia. Asyik betul gaya duduknya.
Berhenti ia setelah disela. Agak terkejut, lalu berangkulan. Dan seperti dapat diduga, mulailah teman itu ngobrol panjang, sarat nasihat. Bang Brengos kebagian mendengarkan, dan tentu saja membayar semua pesanan makan yang lelaki tua itu.
"Aku tak pernah bicara sepanjang ini kecuali denganmu, Her. Aku masih seperti yang dulu, sedang kamu banyak berubah. . . . !"
Hermanu, itu nama Bang Brengos di KTP. Lengkapnya Heru Iman Utomo.
Akhirnya waktu berpisah tiba juga. Ia melambaikan tangan.
"Terima kasih. Kamu selalu 'the best' sebagai karib. Kalau saja ada sepuluh kawan sepertimu, aku tak perlu ripuh menjalani sisa usia ini. . .!"
"TIdak setiap hari, 'kan?"
"Setahun sekali pun tidak, Mang. Sangat menyenangkan dapat bertemu, masih sama sehat, sama penuh gaya. Dengan rokok kretek mengepul dbibir. Amboi. . . .!"
"Terima kasih sudah mentraktirku. Tapi maafkan soal nasihatku tadi. Sebenarnya itu semua untuk diriku sendiri saja. Tidak ada bagian dari nasihatku yang cocok buatmu, Her. Hidupmu sudah runtut dan nyaman. Elok nian. Tanpa celah untuk dinasihati. Maaf!"
"TIdak ada yang salah, dan tidak ada yang perlu dimaafkan, Mang. Terima kasih. Semoga kamu dan keluargamu selalu sehat, dan bahagia meski dalam kesederhanaan hidup seorang pensiunan. . . . . !"