Lihat ke Halaman Asli

Sugiyanto Hadi Prayitno

TERVERIFIKASI

Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pejuang Emansipasi, Kartini dalam Keluarga, dan Seorang Hafidzah

Diperbarui: 21 April 2021   22:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kartini dan suaminya, Raden Adipati Djojo Adiningrat, dalam kereta, siap untuk kunjungan resmi. Foto diambil di depan Kabupaten Rembang saat Kartini sedang mengandung.(Dok. Kompas/Istimewa) - nasional.kompas.com

Tanggal 21 April, hari ini. Itu merupakan merupakan tanggal keramat bagi perempuan Indonesia. Itulah tanggal kelahiran seorang pejuang emansipasi wanita negeri ini. Ia menjadi salah satu tokoh penting untuk mengangkat hak-hak kaum wanita. Dengan caranya, yaitu menulis surat-surat kepada teman-teman di benua lain yang sudah maju peradabannya (pada awal abad 19), dan kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku fenomenal "Habis Gelap Terbitlah Terang".

Tiap tahun sosok RA Kartini menjadi bahan perbincangan. Salah satunya mengenai usianya yang sangat pendek, yaitu 25 tahun. Ia lahir di Jepara pada 21 April 1879. Ia meninggal karena preeklampsia, yaitu sindrom meningkatnya tekanan darah saat melahirkan. Kejadiannya pada September 1904. Ia anak pertama Kartini. Sumber 1/

Tidak tepat kalau alasan kemiskinan penyebab kematian Kartini. Karena ia, anak Bupati Jepara. Sang ayah, Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat. Ia menjadi isteri seorang ningrat, yaitu RM Soesalit Djojoadhiningrat. Artinya secara ekonomi tentu bukan kendala. Yang lebih pasti, perkembangan dunia medis pada waktu itu belum mampu menyelamatkan jiwanya.

Namun, secara umum faktor rendahnya pendidikan dan kondisi kemiskinan menjadi hambatan bagi para perempuan untuk mewujudkan cita-cita Kartini. Lebih dari seabad kemudian, masih banyak daerah di tanah air yang kehidupan perempuannya memprihatinkan.

Baca juga: Madu Saat Shaum, Jaga Nutrisi, dan Pilih Kojima

*

Sangat banyak ulasan dan bahasan mengenai RA Kartini. Sampai kadangkala kita lupa, bahwa dalam keluarga sendiri pun ada sosok Kartini yang tak kalah menginspirasi.

Dalam keluarga penulis misalnya, setidaknya ada 3 orang "pahlawan". Pertama, yaitu Simak. Itu sebutan untuk Ibu sebenarnya. Tetapi dalam keluarga penulis, Simak merupakan panggilan untuk Nenek. Ibu dari ibunya penulis. Orang-orang seusianya memanggil Simak dengan nama Si Rum. Entah apa nama kepanjangannya .

Karena terjadi konflik keluarga, Simak pergi dari  suami pertamanya. Pergi merantau. Meninggalkan pelosok desa Kabupaten Pacitan. Tahun 1930 kala itu. Ia sendirian nekat menuju Bogor. Setelah beberapa tahun merantau, Simak pindah ke Yogya. Tempatnya berjualan menempel di depot orang, lama-kelamaan mampu punya depot sendiri.

Untuk menebus rasa bersalah meninggalkan anak, ia mengambil cucu pertamanya sebagai anak. Simak berprinsip: tidak akan meninggalkan harta melainkan ilmu, harta dapat dicari sendiri bila berilmu.  

Akhir tahun 1960 hingga  1970-an, usaha makanannya sangat terkenal. Bahkan sampai kini. Makanan itu, gado-gado pojok Pasar Beringharjo, Yogya. Pada saat itu sajiannya termasuk mewah, sebab menggunakan slada, kerupuk udang, dan emping. Jumlah "rewang" (pembantu) sekitar 7 orang. Kebutuhan kacang tanah untuk sambal rata-rata 20 kilogram per hari. Simak meninggal pada awal Juni 1975 pada usia 63 tahun karena stroke.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline