Lihat ke Halaman Asli

Sugiyanto Hadi Prayitno

TERVERIFIKASI

Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Jangan Malas Berucap Alhamdulillah

Diperbarui: 1 Desember 2020   13:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

perempuan diantara batu-batu - kompasiana.com

Suatu hari saat hendak ke masjid jelang salat dhuhur, setelah berwudhu, saya berganti dengan pakaian khusus ibadah. Saya kenakan kemeja panjang, lalu sarung. Dan saat itu saya menyadari bahwa Allah telah berbaik hati memberi kelengkapan anggota tubuh. Dua lengan, lengkap dengan telapak dan jari-jemarinya. Dengan dua lengan saya lebih mudah mengenakan sarung.

Ketika itu tiba-tiba saya teringat dengan seorang pejabat yang hendak diwawancara pada pada sebuah studio tv di Ibukota. Ia berkemeja panjang, juga celana panjang. Bersisir rapi. Tersenyum, dan tampak sangat gagah ketika keluar dari ruang ganti.  Belakangan saya baru tahu kemeja panjang itu untuk menyembunyikan lengan kirinya yang tiada, dan digantikan dengan lengan palsu. Saat itu saya berucap Alhamdulillah karena punya dua lengan utuh.

Pada kesempatan lain, saya dengan isteri melakukan olahraga pada sebuah taman kota. Sabtu dan Ahad banyak orang di sana. Selain berolah raga jalan kaki, bersepeda, main bulutangkis, dan senam; tak sedikit orang sekadar berbelanja. Berdesakan (saat itu belum suasana Covid-19) orang-orang dengan aneka kepentingan.

Diantara kerumunan, ada tiga orang saling bergandengan depan-belakang. Paling depan berkalung kotak speaker kecil dan menengadahkan tangan kanan. Dua orang di belakang menyanyi lagu, mengikuti suara musik dari speaker. Tiga orang tunanetra itu coba mengais rezeki: mengamen.  

Kalau saja penglihatan mereka normal dan berfungsi baik, tentu mereka punya pekerjaan untuk menopang kebutuhan hidup. Ketiadaan penglihaan membuat banyak hal serba terbatas. Saat itu saya mengucap Alhamdulillah.

Cerita lain lagi. Dulu pernah saya bikin puisi untuk dikompetisikan. Puisi tentang beratnya perjuangan hidup. Seketika terpetik di kepala untuk menulis tentang nasib para pemecah batu Diantara kerja orang-orang desa yang punya kawasan galian C yaitu penambang pasir dan pemecah batu dengan peralatan palu besi.

Puisi rampung saya buat, tinggal mencari gambar pendukung. Saat itu saya temukan gambar yang lumayan menyentuh perasaan. Yaitu seorang pemecah baru perempuan yang terduduk di sisi gundukan batu yang sedang dipecahkannya. Di sampingnya tersandar sebuah kruk dari kayu. Ya, ia berkaki sebelah, hingga perlu perjuangan keras untuk sampai ke lokasi kerjanya itu.

Puisi itu  saya sesuaikan dengan gambar, dan terasa sekali muatan keprihatinan atas nasib orang itu. Saya pun mengucap Alhamdulillah diberi kelengkapan kaki dan pekerjaan yang tidak seberat perempuan itu.

Dari tiga hal di atas saya merasa prihatin. Mengingat hal itu  saya spontan mengucap Alhamdulillah, sebab saya diberi anggota tubuh lengkap, utuh, dan sehat. Semestinya saya lebih bersyukur, memanfaatkan kepemilikan ini dengan lebih baik, dan tak segan mengulurkan tangan membantu orang-orang yang secara fisik berkekurangan. di luar sana masih sangat banyak hal-hal tragis dan memilukan. 

*

Benar juga ungkapan yang menyebut bahwa nikmat Allah tak terhitung. Bila pun coba-coba menghitung bakal tak mampu. Karena begitu banyaknya, untuk hal-hal yang terasa dan terlihat, hingga hal-hal yang di luar itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline