Tiga minggu terakhir tidak ada hujan. Mungkin kemarau sudah tiba. Terik sinar matahari sengit menimpa desa terpencil itu. Desa di lereng timur gunung Merbabu. Kehijauan tanah pertanian dan kebun, juga pekarangan, mulai berubah menjadi warna debu. Udara memuai kering dan panas.
Jimun dan Sarmi belum beranjak dari dapur. Hari itu tidak ada pekerjaan buruh. Suami isteri dengan tiga anak itu berdiam diri saja di rumah sederhana mereka, rumah di atas tanah Pak Wo. Anak-anak mereka bermain -layang di ujung desa, dekat kebun tebu. Empat bulan terakhir uang sewa tanah untuk rumah dan sepetak kebun belum terbayar.
Harus pinter-pinter cari alasan agar Pak Wo tidak ngamuk. Kalau darah tingginya sedang kumat, tak jarang siapa saja diamuk. Apalagi yang telat bayar sewa rumah maupun tanah. Duda tua itu sulit diterka sikapnya. Maka untuk urusan apapun dengannya Jimun di belakang, Sarmi yang maju.
"Belum ada uang, Pak Wo. Maaf. Jimun mau cari kerja di kota saja. Mudah-mudahan upah kerja di sana dapat ditabung untuk bayar sewa. . . . . !" ujar Sarmi dengan kepala menunduk memperlihatkan keprihatinan mendalam lantaran telat bayar sewa.
Tapi hari itu Pak Wo tidak sedang ngamuk. Ia justru tertawa lebar. Pak Wo meski tua tak lain lelaki normal. Di depan perempuan hitam manis dan bersih kulitnya, serta semampai seperti itu, luluh juga hatinya. Tak jarang ia diam-diam bergumam: "Tidak bayar nggak masalah, Mi, asalkan kamu selalu dekat aku.. . . ." "Oalah, Mi Sarmi. Lagakmu kayak baru kali ini saja nunggak sewa. Ya, sudah nggak apa-apa. . . .!" ucapnya kemudian.
"Alhamdulillah. Pak Wo memang punya hati emas, seluas samudra. Penampilan boleh garang, tapi hati selembut sutera. . .!"
"Sudah. . . , sudah. Nggak perlu merayu segala. Aku sudah tua. Tidak tertarik lagi dengan kata-kata manis disertai dalih lantaran nunggak sewa."
Pak Wo turun dari sepeda motor matic dengan keranjang isi rumput untuk pakan lima ekor sapi yang dimilikinya. Sarmi cekatan menahan rumput yang oleng hendak jatuh. Pak Wo susah-payah menahan sepeda supaya tidak rubuh lantaran beban berat. Sesekali saja mencari rumput sendiri. Biasanya ia minta tolong Dul dan Patmo.
"Sudah, sana cepat pulang. Suamimu pasti sudah nunggu di rumah. . . . !"
"Baik, Pak Wo. Terima kasih . . . "
"Cepat pulang. Jimun yang cemburuan itu tidak layak menjadi suamimu. Salah sendiri ia pilih isteri cantik. Jadi banyak mata lelaki melirik. Dulu berapa lelaki saingan yang dikalahkannya untuk mendapatkan cintamu, Mi?"