Cerita awal: Covid-19 mengharuskan semua hal dilakukan di rumah. Termasuk ibadah serta salat tarawih. Persoalannya, jadi imam salat tarawih harus punya hafalan surah-surah yang memadai. Bang Brengos dan Pak Samiran terbiasa jadi makmum di masjid perlu persiapan khusus.
Link cerita sebelumnya: mendadak-imam-salat-tarawih
*
Dari kisah hidup Pak Samiran itu tiba-tiba Bang Brengos menemukan bahan tulisan yang menggelitik untuk segera ditulis.
Setelah salat Ashar berjamaah, Bang Brengos bergegas ke ruang kerjanya yang sederhana dan memulai menulis:
"Ada orang bertanya: "Mau Ke mana, Pak/Bu?" Kita cepat menjawab sesuai keperluan dan tujuan kepergian kita hari itu. Jawab saja singkat, "Ke kantor," atau Ke Pasar," atau "Ke luar kota".
"Itu pertanyaan mudah dijawab. Jarang orang bertanya yang lebih sulit dari itu (kecuali dalam ujian). Bila diteruskan lebih mendalam pertanyaan itu bisa menjadi: "Mau ke mana, Pak/Bu, setelah kematian kelak?"
"Jawabnya sungguh tidak mudah. Menjawabnya pun tidak boleh main-main. Memang ada saja orang yang enggan menjawab, tidak mau. Orang-orang itu mungkin berpendapat bahwa persoalan kehidupan sesudah mati terkait dengan agama yang dianut. Dan soal agama sifatnya mutlak urusan pribadi tiap orang."
"Padahal sebetulnya tidak."
"Seperti dijelaskan para ulama, kelak di alam kubur ilmu/pengetahuan seseorang akan ditanya mengenai pemanfaatannya. Orang yang suka berbagi ilmu akan mendapatkan pahala sebanyak orang-orang yang mengikuti perbuatan baik yang ditularkannya. Sebaliknya yang pelit dan tidak mau berbagi ilmu akan mendapatkan siksa. Nah, dalam konteks inilah ungkapan perlunya kita saling menasihati mendapatkan alasannya."
"Kalau dalam kehidupan dunia yang pendek dan diumpamakan layaknya "mampir ngombe (Jw atau singgah untuk minum)" kita bisa teliti, cermat, njelimet, dan berjuang mati-matian begitu rupa; kenapa untuk kehidupan di akhirat yang waktunya sangat lama justru disepelekan?"