Biasanya orang menghindari pekerjaan, menjauh, dan kalau perlu bersembunyi. Tetapi Avan Fathurrahman sebaliknya. Ia justru mencari-cari pekerjaan, tidak takut lelah, dan mau saja keluar uang bensin.
Ya, apa sebutannya untuk orang seperti itu kalau bukan 'kurang kerjaan'? Yang lebih memprihatinkan lagi apa yang dilakukannya itu dilarang, tidak diperbolehkan, dan dihindari orang banyak orang.
Avan Fathurrahman nekat. Ia mengaku sendiri bukan guru yang patuh perintah. Ia merasa tidak patut dicontoh. Tetapi hati nuraninya yang membuat keputusannya bulat seperti itu.
Ia mendatangi siswanya satu per satu, meski jauh. Jaraknya hingga 20 kilometer ia harus menempuh perjalanan menggunakan sepeda motornya. Tak jarang harus disambung dengan jalan kaki menyusuri setapak. Aktivitas belajar dari rumah itu mulai berjalan pada awal Maret 2020.
Ia ikhlas, rela, dan senang-senang saja. Seminggu 3 kali perjalanan dilakukannya. Dan satu lagi, biaya bensin ditanggung sendiri. Tidak ringan pengorbanannya, ia betul-betul orang yang kurang kerjaan.
*
Tulisan awal di atas merupakan pengandaian bila saya menjadi sejawat guru yang tidak setuju dengan apa yang dilakukan oleh Avan Fathurrahman. Pasti ada saja orang yang bersikap normatif, ikut aturan saja, dan buntutnya tidak cukup kreatif untuk menyiasati keadaan.
Tangapan dan pendapat seperti itu tidak salah, dan sah-sah saja. Orang berbeda pendapat memang perlu, untuk saling mengingatkan.
Namun, guru di pelosok Sumenep, ujung timur Pulau Madura itu, memang mengambil keputusan yang berbeda. Alasannya, daerah yang didiaminya memang jauh berbeda.
Pelosok, kampung, dan serba sederhana kehidupan masyarakatnya. Kebijakan Pemerintah Pusat, melalui Kemendikbud, dengan belajar jarak jauh tidak cocok dilakukan di kawasan tersebut.
Demikian pun bukan berarti ia mencari penyakit. Ia saya percaya pada ganasnya penularan dan dampak mematikan Covid-19. Rasa takut ada, was-was pun dirasakan pada awalnya. Tetapi pengabdian serta panggilan hati nurani mengharuskannya mendatangi setiap siswa.