Lihat ke Halaman Asli

Sugiyanto Hadi Prayitno

TERVERIFIKASI

Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Cerpen | Kucing di Teras Rumah

Diperbarui: 28 Januari 2020   19:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

kucing liar di australia | ilustrasi via kompas.com

Adzan subuh terdengar dari kejauhan. Lik Marsidik bersiap hendak berangkat ke masjid. Berkain sarung, kemeja panjang, dan peci hitam. Tetapi sesampai di teras ia menemukan seekor kucing tergeletak, tertidur nyaman. Mengherankan sekali, biasanya kucing memilih berbaring di atas kursi kayu di teras, atau di atas tumpukan kardus di samping rumah. Hari masih gelap. Lampu teras sudah dimatikannya tadi. Penglihatan Lik Marsidik jadi kurang jelas.

Dengan berjingkat-jingkat ia melewati sisi tubuh kucing. Lik Marsidik mengira satwa rumahan entah milik siapa dan sering singgah di halaman rumah itu sedang tertidur dengan pulasnya.

Sepulang dari masjid, hari sudah terang. Lik Marsidik mendapati si kucing masih meringkuk dengan santainya.

"Lelap amat tidurmu, Pus. Kecapean, ya?" tanya Lik Marsidik seraya mendekat, dan memperhatikan lebih seksama. Seketika ia terkejut, Tubuh kucing itu tampak kaku, tak bernafas. Mati. "Oalah Pus. . . . Pus. Mati saja kok memilih di rumahku. Kamu singgah untuk minta makan, atau sesekali buang kotoran, aku tidak masalah. Tapi mati, kenapa kamu memilih di rumahku?"

Lik Marsidik membayangkan ia harus menyempatkan diri menggali tanah di belakang rumah untuk menguburkan si Pus.

*

Selesai mencuci, mandi dan sarapan roti bakar dioles mentega pagi itu, Lik Marsidik teringatr pekerjaan lain yang sudah menunggu. Mengubur si Pus. Maka ia bergegas ke bawah pohon jambu air di belakang rumah. Lik Marsidik segera menggali lubang. Dalamnya sekitar setengah meter, lebar sekira tiga puluh sentimeter.

"Di sini akhirnya tempatmu beristirahat panjang, Pus. Kalau kelakuanmu baik mungkin kita bisa bertemu di akhirat nanti.. . . . !" ujar Lik Marsidik dengan penuh perasaan. Ia membayangkan dirinya yang hendak dikubur. Dan si penggali kubur mengucapkan kata-kata yang hampir sama. Sedih rasanya.

Cangkul yang ia gunakan sudah rapuh. Gagangnya tidak kukuh lagi. Ketika tenaga cangkulan agak kuat karena tanah yang keras, ujung gagang cangkul pun patah.

"Nasibmu, Pus. Lubang belum cukup dalam, tapi gagang patah. . . .!" ujar Lik Marsidik seraya berdiri tegak dan menggeliat. Ia melihat sekeliling kalau-kalau ada linggis atau cangkul lain tergeletak di emperan.

Lelaki tua itu hendak mengubur di lubang dangkal itu saja. Toh hewan mati sudah dibungkus rapat dengan kantong plastik. Kalau sudah tertutup tanah pasti baunya tidak menyebar ke mana-mana. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline