Cerita sebelumnya: Ada mata seperti curiga, ternyata sedang sibuk mengingat-ingat kisah masa lalu. Kisah yang diduga melibatkan si Emak sebagai salah satu pelakunya. Pak Hamid penasaran, tak yakin, tapi Yu Sawiji tak menanggapi. Begitupun Pak Hamid bermurah hati membeli rongsok yang dibawa kedua pemulung.
*
Tiga
Yu Sawiji tidak mendengarkan lebih lanjut apa yang didongengkan lelaki itu. "Bohong. . . .," komentarnya dalam hati.
Uang dua ratus ribu di tangannya segera mengingatkannya pada sebungkus nasi Warteg, dan perut kenyang.
Nasi panas-panas, dengan dadar telur, sayur kangkung, tempe goreng, kerupuk, dan sambel untuk dirinya. Sebungkus lagi nasi ayam gule, tambah goreng tahu, tanpa sayur dan sambel, untuk Rusmina. Oya, minumnya teh es manis dingin. Ah ah.
Perempuan itu berjalan pelan-pelan ke luar pagar. Ia tahu banyak mengenai akal bulus lelaki. Ia pun pernah terpikat cerita satu dari mereka. Bercerita apa saja yang membuat orang lain penasaran, dan buntutnya apa? Watak durjana muncul. Penampilan boleh alim dan santun, tapi siapa tahu di dalam hatinya?
Dengan bergegas Yu Sawiji mengambil karung plastik besar miliknya. Terasa berat isinya. Lalu menggandeng Rusmina, lalu keduanya berjalan di trotoar, di sisi jalan yang sibuk dan padat oleh lalu-lintas jalan raya. Si lelaki bersarung-peci berteriak memanggil, tetapi yang dipanggil tidak sekalipun menoleh.
*
Pemulung itu memperlihatkan lembaran merah pada Rusmina. Keduanya tertawa terbahak-bahak. Senang tentu saja. Segayung air keran berbuah dua lembar ratusan.
Jalanan ramai belum berkurang. Padat, dan riuh. Matahari mulai bergeser ke barat. Namun, terik dan panas belum berkurang.