Duduk di kursi kayu jati di ruang tamu, Karin menunggu kepulangan suaminya. Kebetulan Mamanya datang dari luar kota sejak pagi. Karin senang, tapi bila mengingat suami selalu ada perasaan penuh harap, ada was-was, dan terbersit pula selintas rasa takut.
Jam lima lewat tiga puluh menit sore biasanya. Tidak lebih, tidak kurang. Ia hafal sekali kebiasaan itu. Sebab sudah hampir dua tahun ia menjadi isteri Bang Barmin. Dan kebiasaannya tidak berubah. Bang Barmin tepat dan teliti dalam hal waktu; tetapi sayang ia tidak dapat diandalkan dalam menjaga ucapan. Janjinya hampir selalu meleset.
Karin kerap protes, tetapi justru Mamanya mendukung apa saja tindakan dan pemikiran Bang Barmin.
"Begitu banyak hal yang mestinya membuatmu bangga punya suami Bang Barmin, Karin. Tapi kamu terus ribut seputar keharusan pulang tepat waktu dan janji yang meleset!" ujar Mama seperti setiap kali. Meski tanpa berkata, tanpa ekspresi apapun. Mama tanggap apa yang dipikirkan anak bungsunya itu.
"Banyak hal? Karin rasa tidak banyak. Bahkan tidak ada sama sekali," bantah Karin dengan perasaan kurang senang.
Mama tertawa saja. Ia maklum, harus perlahan-lahan memberi pengertian kepada si bungsu. Karin memang keras kepala. Tidak mudah diatur-atur.
"Kenapa Mama tertawa?"
"Lucu, tapi memprihatinkan. Putri bungsu Mama ini terlalu keras kepala. Akibatnya, tidak mudah melihat kebaikan kalau tidak dari hatinya sendiri. . . .!" ucap Mama sambil berjalan ke luar rumah.
Pada saat itu Bang Barmin datang mengendarai sepeda motor maticnya. Seperti biasa wajahnya cerah. Tidak menampakkan kelelahan, gerah, atau sikap canggung.
"Maaf, Abang terlambat.. . . .!" ujar Bang Barmin.
Di depan pintu, Karin tak membalas senyum suaminya. Agak ketus ia menyahut: "Sepuluh menit. Terlambat sepuluh menit."