Sejak kemarin sore orang-orang kebagian daging kurban, lalu bikin tongseng, gule, atau sate. Malam hari bau daging bakar menyebar ke mana-mana. Tentu saja tiap keluarga memilih masakan kesenangan masing-masing.
Pak Bejo sebagai ketua RT mendapat cukup banyak daging kurban. Selain dari masjid, dan perorangan pun ada yang mengantar. Daging sapi, ada pula daging domba. Pak Bejo memang sangat aktif mengurus warganya. Juga aktif di masjid.
Bu Tini, isteri Pak Bejo, kembali membagikan sebagian daging yang diterima agar suaminya bisa mengerem diri dari keinginan makan daging. Maklum ada bibit darah tinggi
Begitu juga dengan Mas Edi Mur. Ia sangat gemar daging kambing. Dan perayaan Idul Kurban menjadi kesempatan baginya makan daging kambing lebih. Banyak. bila ada yang memberinya daging sapi maka buru-buru ia tukar daging kabing. Hari itu ia dan keluarganya bisa mendapatkan dua atau tiga bungkus daging kurban dari sumber yang berbeda-beda.
"Lumayan, Bu. Hari ini kita pesta daging kambing. . . . . !" ucap Mas Edi Mur stiap kali hari raya kurban tiba. Hari-hari lain jangankan daging kambung, daging ayam pun tidak tiap hari bisa didapatkannya.
"Alhamdulillah. Bisa tiga-empat hari makan daging. Asal diirit. Tidak jor-joran, yang justru bisa membawa penyakit. . . . . !" sambung Mak Fatmah ketika akan beranjak ke warung lotek Mbak Murwo.
*
Hari panas, angin kering berdebu bertiup sesekali. Itupun lumayan untuk menghalau udara gerah musim kemarau. Di pos ronda 'klub banting kartu' di desa Kali Buthek, Mbak Murwo sudah membuka warungnya. Seperti biasa lotek dan aneka makanan kecil serta minuman disediakannya.
"Tolong tutup kembali makanannya. Anginnya bawa debu. . . .!" beberapa kali Mbak Murwo mengingatkan pembeli sehabis mengambil goreng pisang atau bala-bala (bakwan).
"Supaya tidak dirubung lalat, ya Mbak?" tanya seorang remaja lelaki sambil tersenyum-senyum.
"Iya, dong. Lalat bikin penyakit. Musim kemarau begini, sakit bisa menjangkiti siapa saja dengan cepat," ujar Mbak Murwo menambahkan./