1/
Rumah mungilku tanpa pintu tapi ada berjendela
tempat sewaktu-waktu aku iseng melongok ke luar
pada pagi dan siang, terlebih pada malam larut
manakala rembulan merayakan purnama.
Saat itu di luar sana mestinya berwarna keperakan
ada yang kelam, dan selebihnya pekat hitam
tampak suram segenap kehidupan dari kejauhan.
Namun, malam ini purnama sirna
di depan jendela. Itu kenapa tak dapat kubayangkan
raut wajahmu melempar senyum seperti biasa
jangan lagi canda-tawa menggoda.
2/
Bingung aku untuk apakah tumbuh
rasa rindu ini, yang menjalar dan bercabang-ranting
sia-sia menggapai udara, meski sekadar
memetik beberapa butir buah sedih dan luka.
Jelang subuh kembali kutengok, kulirik
ingin kepastikan bahwa rembulan masih berlayar
di keluasan langit. Mega-mega yang berarak
laksana ombak dan buih. Langit kebiruan
menandai kedalaman laut tanpa dasar.
Tak tampak sekilas pun pias wajahmu.
3/
Bosan menunggu, kubongkar bingkai jendela
kubawa lari ke luar rumah dan berkeliling padang ilalang.
Menyuruki lereng bukit, hingga terjebak
di hutan tak bertuan. Tak henti kulongokkan
kepalaku ke luar bingkai jendela. Tapi tak kutemukan
secuil pun purnama.
Aku harus bersabar untuk pulang ke rumah mungilku
menunggu detik demi detik siang berlalu
agar nanti dapat kembali melongok ke luar jendela
sepanjang malam, tanpa henti tanpa letih
agar tahu, kenapa di depan jendela purnama tiba-tiba sirna.
Sekemirung, 22 Maret 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H