Lihat ke Halaman Asli

Sugiyanto Hadi Prayitno

TERVERIFIKASI

Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Puisi | Purnama Sirna di Depan Jendela

Diperbarui: 23 Maret 2019   00:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

bulan di depan jendela

1/ 
Rumah mungilku tanpa pintu tapi ada berjendela 
tempat sewaktu-waktu aku iseng melongok ke luar 
pada pagi dan siang, terlebih pada malam larut 
manakala rembulan merayakan purnama. 
Saat itu di luar sana mestinya berwarna keperakan 
ada yang kelam, dan selebihnya pekat hitam 
tampak suram segenap kehidupan dari kejauhan. 

Namun, malam ini purnama sirna 
di depan jendela. Itu kenapa tak dapat kubayangkan 
raut wajahmu melempar senyum seperti biasa 
jangan lagi canda-tawa menggoda. 

2/
Bingung aku untuk apakah tumbuh
rasa rindu ini, yang menjalar dan bercabang-ranting
sia-sia menggapai udara, meski sekadar
memetik beberapa butir buah sedih dan luka.

Jelang subuh kembali kutengok, kulirik
ingin kepastikan bahwa rembulan masih berlayar
di keluasan langit. Mega-mega yang berarak
laksana ombak dan buih. Langit kebiruan
menandai kedalaman laut tanpa dasar.
Tak tampak sekilas pun pias wajahmu.

3/
Bosan menunggu, kubongkar bingkai jendela
kubawa lari ke luar rumah dan berkeliling padang ilalang.
Menyuruki lereng bukit, hingga terjebak
di hutan tak bertuan. Tak henti kulongokkan
kepalaku ke luar bingkai jendela. Tapi tak kutemukan
secuil pun purnama.

Aku harus bersabar untuk pulang ke rumah mungilku
menunggu detik demi detik siang berlalu
agar nanti dapat kembali melongok ke luar jendela
sepanjang malam, tanpa henti tanpa letih
agar tahu, kenapa di depan jendela purnama tiba-tiba sirna.

Sekemirung, 22 Maret 2019

Gambar




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline