1/
Batas khayalku hanya seteguk kopi
tak lebih, tak bergeser sejengkal pun
pahitnya sepanjang hari, panas membara
manisnya melenakan sekujur hati.
Hanya cecap kopi yang mampu
meremas lidah, kuat tapi harus bertahan
membuat jejak percakapan begitu renyah.
Batas khayal dalam aroma mencekam
genangan sunyi kenangan, betapapun pekat
terasa sayang untuk dibuang.
2/
Kopi pekat mengepul sungguh menggiring pagi
dari kerja malam, dari letih, dari kungkungan
pikir kalut, penakar berat langkah kaki.
Kopi pada waktu lain meretas bayang sempit
untuk capaian yang belum juga bulat
bersabar saat menyeruput, lembut meraba pahit.
Maka secangkir kopi mendidih legam buatan ibu
aromanya tajam istimewa, untuk bapak
dan bukan untuk anak-anak. Kuingat jernih itu
cerita lampau, bapak-ibu dan sembilan anak.
3/
Rumah adalah keriuhan. Tidak ada waktu
untuk sekejap hening. Selalu ada tangis, tawa,
rengek, cekcok, dan bentak.
Sedang ibu memilih lirih berujar pada bapak:
"Ini kopi panasmu, Pak. . .! Minumlah."
Bapak mengangguk, menerima cangkir
terdiam agak lama. Lalu meneguk dari sendok
dengan senyum, setelah beberapa saat ditiup.
"Enak sekali, Bu."
Mereka serius saling berbisik, mudah ditebak
itu urusan rumahtangga untuk pegawai rendah
ekonomi sulit, cara meredam kebutuhan perut
sandang, dan aneka lain
demi harap kelak, anak-cucu yang gemerlap.
4/
Kini pun hidup tak menjadi lebih terang
segurat harap setiap pagi, pada seteguk kopi
jadi pengingat: rasakan manisnya dalam pahit.
Kenangan suka datang pada secangkir kopi.
Pada wajah ibu, juga cara bapak menyeruput
seteguk demi seteguk tetes kopinya.
"Kita sekadar singgah. Nikmati kesementaraan ini.
Jangan tergoda untuk seolah tinggal lama.
Kita akan segera berangkat lagi. . . . .!" ucap bapak
kepada anak-anak, dulu sekali, dalam diamnya. ***
Cibaduyut, 27 Nov 2018 - 06 Feb 2019
Gambar
Tengok juga puisi sebelumnya: