Lihat ke Halaman Asli

Sugiyanto Hadi Prayitno

TERVERIFIKASI

Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Puisi | Menunggu Hujan

Diperbarui: 1 Desember 2018   17:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cumulonimbus: heavy rain and thunder on the horizon.

Jangan hujan besar menjadi banjir
dan banjir meluap kemanapun
menenggelamkan perkampungan dan warganya.
Kami butuh embung
saratus atau seribu pun tak apa
untuk penampung hujan yang datang.
Kami butuh seribu sumber air
untuk membasuh wajah, untuk minum
dan melunakkan hati
yang terpanggangkemarau.
Sedang sumur jauh di kedalaman
tak lagi menjanjikan setetes pun.

Kini aku teronggok di sini
bersama ribuan lelaki lelah
pada aliran sungai yang menggelegak
memuntahkan amarah langit
mendung memadat, petir melontar
jutaan kilat dengan arus listrik
untuk melecut si bebal, hingga tubuh mengeras
menjadi serupa batu
yang tak hendak retak.  

Jadi percayalah, kami setia
menunggu hujan, hingga petang
bila pun kami tertidur
dan dihujani mimpi basah
mata tetap berair
keringat tetap mengucur
kemarau sudah terlalu jauh berangkat
melintasi padang dan  bukit-bukit
hingga ke ujung cakrawala.

Jadi tolong perhatikan, kami butuh embung
kami butuh seribu mata air
namun bumi makin kerontang
menggiring perang bekecamuk
beradu senjata pemusnah massal
memperdengarkan kegaduhan
mereka yang kehilangan kemanusiaan.

Di sudut sepi, seorang nenek tua termangu
bergeming, menunggu hujan
menderas, untuk ribuan anak-anaknya
yang kehausan ditinggal ibu-bapak mereka
yang ditenggelamkan banjir, longsor
dan gempa bumi setiap hari.

Cigadung Bdg., 3 Sept -- 01 Des 2018

Gambar

Simak tulisan sebelumnya: 

cerpen-terlambat-tapi-selamat

puisi-biar-kutunggu-di-tepi-hari




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline