Sahur on the Road (SotR) yang dilakukan oleh para pemuda dengan cara berputar-putar kota menggunakan kendaraan roda dua atau kendaraan roda empat memang sering menimbulkan ekses negatif. Ketika mereka bertemu, lalu terjadi saling ejek dan saling tegur, saling ganggu, tak jarang kemudian terjadi perkelahian dan tawuran. Bukan hanya pemuda awam yang memang sering memburu gaya 'seru-seruan' dan/atau 'cuma iseng'; tetapi pernah diberitakan bahkan ada pula anak sekolah, mahasiswa, geng motor, anggota ormas, dan santri yang terlibat peristiwa itu.
Ada lagi yang menggunakan acara SotR) tersebut sebagai sarana kebut-kebutan di jalan raya, sehingga selain membahayakan keselamatan sendiri juga mengganggu dan mengancam keselamatan orang lain.
Anak-anak sekolah, para mahasiswa, organisasi pemuda, dan berbagi instansi baik Pemerintah maupan swasta memiliki kegiatan Ramadan, salah satunya 'sahur di jalan' itu. Sahur penuh gaya, sahur untuk ajang muamalah namun tak jarang terjerumus pada tindak kenakalan yang kelewaan.
Padahal ide semula sangat bagus dan cerdik. Banyak orang yang terlantar di jalanan kota, karena alasan kemalaman tidak mendapatkan angkutan umum kembali ke rumah, tidak punya tempat tinggal, kehabisan uang transport, atau bahkan para pemulung dan gelandangan, yang membutuhkan uluran tangan untuk makan sahur atau sekadar makan malam untuk pengisi perut (bagi yang tidak berpuasa karena satu dan lain alasan).
Maka tak heran dengan melihat sisi negatifnya, kegiatan itu pernah di larang oleh salah satu Pemprov. Meski kemudian kebijakan itu memunculkan pro-kontra antara yang berpendapat berdasarkan hal-hal ideal namun tidak melihat kondisi di lapangan, dengan yang berpikiran praktis dan pragmatis. Keduanya bisa jadi tidak salah asalkan kegiatan itu justru memunculkan keresahan pada masyarakat karena adanya tawuran, kebut-kebutan, hingga peristiwa kriminal yang tidak diinginkan.
Misalnya, bikinlah saja pos-pos sahur di pusat dan sudut-sudut kota yang tersebar. Tidak harus berkelilling-keliling kota dengan berbagai ekses negatif yang besar kemungkinan ditimbulkannya.
Namun sebenarnya ada 'sahur on the road' yang sangat kondisional, setengah terpaksa dan memang harus dilakukan. Siapa mereka, dan mengapa?
*
'Sahur on the road' memberi beberapa pamahaman. Selain gaya remaja dengan naik kendaraan berkeliling kota untuk mencari sasaran pemberian makan sahur (nasi bungkus, nasi dos/kotak, dan sebutan lain serupa itu) pada berbagai penjuru kota, maka ada pula yang sekadar makan sendiri di tengah perjalanan. Ya, siapa lagi pelakunya kalau bukan pada pemudik Lebaran.
Akhir bulan Ramadan tahun 2016 ketika pintu Tol Brebes Timur, yang kemudian dikenal sebagai Brexit -- Brebes Exit -- dikabarkan antrian mobil menjadi sangat pajang. Pada hari ke lima jelang Lebaran bahkan mencapai 18 kilometer. Kebanyakan pemudik melewati waktu berbuka dan sahur di dalam antrian yang tidak bergerak, seperti parkir, sepanjang malam. Saya dan iseri yang menumpang mobil adik dari Bekasi ke arah Yogya ikut terjebak dalam euphoria jalan tol baru yang memakan korban belasan orang meninggal dunia itu.
Lalu sahurnya bagaimana? Ya, sahur seadanya. Hanya da makanan kecil dan minum air kemasan. Pada kilometer tertentu ada warga masyarakat sekitar jalan tol yang berjualan di balik pagar, namun jalan panjang yang lain kosong, sepi dan gelap. Kanan dan kiri jalan tol hanya sawah, kebun, hutan, dan padang rumput atau genangan air.