Hidup ini menjadi semakin hidup karena tiap hari ada dinamika, pergerakan dan perubahan, serta hal-hal yang tidak monoton. Namun banyak hal sebenarnya yang terasa tidak terlalu prinsip, dan bahkan bisa jadi menjadi tidak penting, namun tetap saja harus diatur, dibuat aturannya, dan dicari akar masalah dengan baik.
Terkait dengan bulan suci Ramadan beberapa hal mencuat menjadi pembicaraan dan pembahasan umum.
Persoalan terjadi terutama karena ukuran dan dasar pemikiran untuk menilai beragam. Contoh sederhana, anak-anak ribut dan bermain-main di masjid bahkan ketika shalat berjamaah sedang berlangsung, atau ketika khotib Shalat Jum'at sedang naik mimbar. Bersikap keras dan melarang anak-anak ke masjid? Atau membiarkannya? Atau melarang dengan baik-baik, namun biasanya tidak dipatuhi? Atau menggunakan cara lain?
Contoh lain. Apakah speaker masjid tidak terlalu keras mengingat letak masjid saling berdekatan? Apakah anak-anak yang membangunkan warga muslim untuk melakukan sahur mampu menenggang agar tidak terlalu mengganggu jam tidur warga nonmuslim?
Bagaimana sikap kita (bukan pada menolak atau melarang, tetapi sebaliknya tumbuhnya rasamau dan termotivasi untuk memaksimalkan amaliah) terhadap warga sekelompok nonmuslim yang sudah bertahun-tahun memberi makanan-minuman untuk warga muslim berbuka? Apakah Idul Fitri tidak sebaiknya dirayakan setelah puasa Syawal (mengingat betapa banyak pemudik yang membatalkan puasanya karena berbagai alasan)?
Dan satu lagi soal warung dan tempat makan lain yang pada siang hari pada bulan Ramadan tetap buka. Saya melihatnya dari beberapa sudut pandang. Pertama, dari sudut orangtua, lingkungan masyarakat, guru agama dan sekolah, ulama, dan Pemerintah yang tidak cukup berhasil membawa umat yang mengaku beragama Islam mengikuti perintah agama yang bersifat wajib. Puasa pada bulan Ramadan termasuk rukun Islam. Dengan kata lain bila seseorang mengaku sebagai umat Islam maka ia wajib melaksanakannya. Bila tidak maka mestinya ia mendapat hukuman secara agama, sanksi sosial, dan bahkan ancaman untuk diuji keislamannya.
Kedua, bagi umat Islam yang melaksanakan puasa. Kecuali mungkin anak-anak, selama siang hari berpuasa pasti sudah bersiap-siap untuk menghindari hal-hal yang menyebabkannya batal puasa. Bekerja terlalu keras dan terlalu dekat kegiatan yang dapat menyebabkan timbulnya selera makan-minum harus dihindari. Dengan demikian warung buka dan melihat orang makan --minum bukan menjadi masalah bagi orang yang betul-betul beriman. Namun persoalan menjadi lain sama sekali bila yang makan-minum adalah orang Islam juga.
Tiap orang akan menerima ganjaran atas amal-perbuatan masing-masing di akhirat kelak, namun ada tanggungjawab setiap muslim untuk saling menasihati. Dengan kata lain, kalau ada muslim yang tidak menjalani rukun Islam dengan baik maka muslim lain wajib mengingatkan.
Dengan alasan itu maka bila ada muslim yang tidak berpuasa mestinya malu untuk memperlihatkan dengan sengaja makan-minum di depan umum (di warung/rumah makan terbuka). Dan bila nekat dapat dilakukan sanksi agama dan social, sebelum kemudian (bila beberapa kali melakukannya) dinyatakan murtad.
Ketiga, bagi pemilik warung/rumah makan. Pemilik warung bila beragama Islam mestinya lebih mampu menenggang kepentingan orang-orang yang berpuasa.
Harus diyakinkan pada mereka bahwa hal itu merupakan bagian dari amaliahnya selama bulan Ramadan. Tidak justru berharap banyak orang Islam yang tidak berpuasa dan makan-minum di warungnya. Sebagai ganti mereka berjualan menjelang waktu berbuka puasa. Peran Ormas Islam, Parpol bernuansa Islam dan Pemerintah harus lebih besar lagi untuk menyadarkan, membina, sekaligus mencari jalan keluar kesulitan mereka --termasuk kepada para pembelinya yang beragama Islam-.