Lihat ke Halaman Asli

Sugiyanto Hadi Prayitno

TERVERIFIKASI

Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Godaan Sumur, Mengeraskan Bacaan, dan Madu Sumbawa

Diperbarui: 22 Mei 2018   23:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

shalat berjamaah di masjid/artikel.masjidku.id

Dalam keadaan apapun kita tidak boleh lupa, tapi memang sulit dan menjadi sifat manusia yaitu pelupa. Nah itulah yang terjadi pada puasa hari pertama ketika saya masih kelas 3 SD.

Beberapa teman mengajak memanfaatkan libur awal puasa untuk berjalan ke desa. Pagi-pagi kami berangkat. Hari itu cuaca cerah, matahari terik. Keringat pun deras mengucur, perut lapar, dan haus sekali. Waktu jelang tengah hari.

Setelah melewati kebun dan pekarangan, kami sampai di dekat rumah penduduk. Ada sebuah sumur timba di sana. kami iseng saja menengok ke dalamnya. Dangkal, dan jernih airnya. Dalam beberapa detik saja kami lupa segalanya. Cepat-cepat saya menimba, lalu meminum langsung dari ember. Diikuti teman-teman lain. Satu orang satu ember. Minum sampai puas.

"Segar sekali ya?" tanya saya pada teman-teman yang wajah dan pakaian basah karena terlalu bersemangat menum langsung dari ember.

"Hahaha. . . .!" Semua tertawa tiba-tba. Mungkin baru sadar bahwa kami telah bata. Panas terik tengah hari di desa jauh, dan bertemu dengan sumur menjadi godaan yang tak tertahankan.   

*

Rutinitas shalat Maghrib, Isya dan Tarawih, serta shalat Subuh di masjid dengan bacaan Al Fatihah dan Surat-surat yang dikeraskan oleh Imam membuat kepala sering malas berpikir. Apalagi badan capek oleh aktivitas sehari-hari di luar kegiatan ibadah dan muamalah Ramadan, perut kenyang (selesai berbuka atau sahur), serta mata mengantuk (malam kurang tidur). Jadi ikut saja gerakan Imam.

Hingga pada satu hari saya ada keperluan dan shalat berjamaah di sebuah masjid kota. Pada rakaat  pertama entah pikiran apa yang mengganggu, saya menunggu Imam mengeraskan suaranya. Terasa begitu lama, sampai kemudian ia bertakbir untuk rukuk. Astagfirullah. . . . baru saya ingat ini shalat Ashar. Anak-anak pun tahu pada shalat Dhuhur dan Ashar, Imam tidak mengeraskan bacaan Al Fatihah dan surat-surat.  

Pada sisa rakaat saya bingung pula harus bagaimana, sebab rekaat pertama tidak membaca Al Fatihah sebagai sahnya tiap rekaat dalam shalat. Saya tidak perlu menuliskan apa yang kemudian saya lakukan, tapi selalu teringang di telinga saya ada beberapa orang yang tertawa atas apa yang saya lakukan kemudian. . . !

*

Sewaktu mahasiswa saya berkunjung ke kamar kost seorang teman di dekat kampus. Ngobrol soal kuliah dan lain-lain, sampai tak terasa sebentar lagi Maghrib.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline