Akhirnya cerita kelam Timur Tengah terjadi juga di sini. Di Negeri penuh anugerah, namun dinafikan oleh rakyat sendiri. Bocah-bocah ingusan berbaris rapi, menggendong bom tanpa mengerti. Takdir dipilihkan kedua orang tua, untuk pasrah menjadi remah.
Terlambat nasihat datang, "Jangan libatkan anakmu dalam urusan yang mereka tidak tahu. Jangan bebani mereka dengan bom." Sedangkan kamu sendiri merasa berat, jangan lagi anak-anak itu.
Anak-anak itu tak berdamai seperti seharusnya. Jernih tetesan embun, hangat usapan sinar matahari. Itu semata karunia keindahan, untuk yang mampu menyukuri, dan menhilangkan benci di dadanya.
Ibu, jagalah anakmu dari mimpi buruk. Bapak, jauhkan anak-anakmu dari keserakahanmu menggapai kemustahilan. Surga dicapai dengan mati, tapi bukan bunuh diri.
Akhirnya cerita di negeri perang terkisahkan juga di sini. Menandai kesuraman yang tak terperi.
Maka pengadilan pun menuntut Aman Abadurrahman dihukum mati. Tuntutan sebagai otak sejumlah serangan teroris di negeri sendiri.
Tak perlu kemana-mana ia menyembunyikan bom dan rencana pembunuhan lagi. Tak perlu penuh benci mengincar mati siapapun yang beda keyakinan.
Kalau nanti sebutir peluru bersarang di dadanya, jangan dikubur ia di manapun. Antisipasi warga menolak. Kremasi saja jasad itu, dan abunya ditabur di kepundan Gunung Merapi. ***21/5/2018
Keterangan:
Al Chadar berpendapat bahwa tuntutan hukuman mati merupakan ujian bagi Aman Abdurrahman dalam memegang komitmen siap mati demi keyakinannya. "Hukuman mati untuk menguji sejauh mana seorang pemimpin jihad konsisten dengan fatwanya sendiri (yang memerintahkan mati demi jihad)." - Sumber
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H