Berburu takjil memang seru. Tapi itu pengalaman masa anak-anak yang tak terlupakan. Awal tahun 1970-an di desa di sebelah timur kaki Gunung Merbabu, takjil di sebuah mushola kecil masih berupa ubi dan singkong rebus dengan gula merah dan teh manis panas.
Sedangkan di kawasan Kulonprogro, takjilnya khas makanan setempat yang terbuat dari bahan parutan singkong yang digoreng atau direbus lalu ditumbuk dalam beberapa bentuk. Bentuknya bulat-bulat dan ditusuk seperti sate (sekarang seperti cilok tusuk), juga geblek dengan bentuk lingkaran kecil disambung-sambung seperti rantai. Yang lainnya growol dengan aroma dan rasa khas (bahan singkong yang direbus, ditumbuk, lalu direndam di air beberapa hari) dan benguk santan.
Ketika awal bekerja, pada awal tahun 1980-an, saya mengenal makanan khas Manado-Minahasa, yang digunakan juga untuk takjil ketika berbuka puasa di masjid. Beberapa yang masih saya ingat yaitu nasi jaha (camuran beras dan ketan dimasukkanke dalam bambu ukuran kecil yang telah dialasi daun pisang, kemudian bambu dibakar.
Penyajiannya dengan dipotong-potong kecil), lalampa (semacam lemper dengan isi daging ikan cakalang, dibungkus daun pisang memanjang, setelah dikukus kemudian dibakar), dan panada (terigu goreng berbentuk mirip pastel dengan isi ikan cakalang). Masih ada lagi denganb ahan dasar hampir sama yaitu terigu, diantaranya kue ku, bobengka, binyolos, dan apang coe.
Takjil bentuknya bermacam-macam, dan bisa berbeda dari waktu ke waktu. Dan ketika sudah bekerja dan diberi kesempatan keliling daerah, pengenalan terhadap takjil makin banyak sesuai daerah masing-masing.
Bertugas sebagai awak media memungkinkan banyak mengunjungi masjid karena tuntuan pekerjaan (liputan dan pembuatan laporan ke luar daerah). Dalu ketika zaman safari Ramadan yang menjadi ciri khas Pak Harmoko, Menteri Penerangan era pemerintahan Soeharto, takjil betul-betul harus diburu dalam pengertian harfiah. Lalu berlanjut pada beberapa Gubenur maupun Kepala Dinas Provinsi dalam berbagai acara yang bertepatan dengan Ramadan.
Bayangkan bila kita masuk ke kawasan pesantren besar seperti di Tasikmalaya, Cirebon dan Indramayu dengan jumlah santri yang mencapai ratusan orang, bahkan ribuan orang, maka takjil itu tidak mudah didapat. Namun biasanya rombongan tamu diberi kekhususan.
Tiap daerah memang punya makanan khas setempat, dan itu yang dihidangkan. Di Sumedang pasti ada ubi dan tahu, di Garut, ada dodol, di Kuningan ada tape ketan. Namun pada umumnya takjil pada saat berbuka puasa berisi: korma beberapa biji, kolak atau es buah, dan beberapa potong makanan (bolu kukus, lemper, resoles, atau jenis lain).
Setelah sholat Maghrib berjamaah biasanya dilanjutkan dengan makan nasi dengan aneka sayur dan lauk-pauknya. Beberapa daerah yang khas masakannya yaitu di Kota/Kabupaten Cirebon dengan nasi jamblangnya (nasi dibungkus daun jati, yang kok awal mulanya dikenal di Desa Jamblang). Sayur, lauk dan sambelnya sesuai selera warga setempat. Di Pangandaran dengan masakan ikan laut, sedangkan di Purwakarta dengan sate marangginya.
*
Berburu dalam pengertian lain, yaitu mencari penjual yang menyediakan aneka kue dan minuman untuk takjil. Namun itupun saat ini hampir sama, da nada pada pasar maupun tempat lain yang tersedia khusus untuk persiapan berbuka puasa. Yang paling umum tersediakan yaitu kolak pisang dan kolang-kaling, kolak candil, bubur sumsum, bubur kampiun, sop buah, es campur, dan aneka juice.