Pos Ronda 'klub banting kartu' kembali ramai tadi malam. Pembicaraan berkisar mengenai enam orang yang terdakwa penelanjangan sejoli di Tangerang yang menjalani sidang tuntutan di PN Tangerang, Selasa (20/3/2018). Salah satu terdakwa, yaitu Komarudin sebagai Ketua RT yang dituntut 7 tahun penjara.
Berita itu menjadi sangat kontekstual bagi mereka sebab sangat dekat dengan kehidupan warga dan kepengurusan RT Kampung Kalajengking itu.
"Tujuh tahun tuntutan. Bayangkan, untuk sebuah tindakan yang diluar nalar, yang entah oleh alasan apa. . . !" komentar Edi Mur dengan suara penuh tekanan dan perasaan.
"Kadang karena emosi massa apapun terjadi. Dua sejoli yang disangka berbuat mesum lalu dianiaya, ditelanjangi, dan diarak keliling kampung. Tiga kejahatan sekaligus dilakukan. Dan tidak ada warga yang coba mencegah. Gila. Keterlaluan. Bodoh. Ya, entah harus berkomentar apa lagi. . .!" tambah Mas Bejo seraya geleng-geleng kepala.
Dua lelaki itu membaca di media online. Dan cerita itu mengingatkan mereka pada banyak peristiwa lain yang didalangi warga. Pembakaran terduga pencuri ampli mushola, salah satu yang menjadi fenomenal sebab belakangan diragukan bahwa si korban tewas memang mencuri. Ada pula Ketua RT yang diam karena mendapat setoran oleh para pelaku kejahatan, sehingga ketika tindak kriminal itu terungkap Polisi maka ia pun ikut terseret kasus hukumnya.
Tak lama datang Lik Sumar, Kang Murbani, dan Wak Ja'far nimbrung.
"Hanya ketua RT saja sudah menyalahgunakan kekuasaan apalagi. . . . !" komentar Lik Sumar tidak diteruskan. Ia melihat ke arah Mas Bejo yang wajahnya mengkerut, sebab membayangkan dirinya sebagai Ketua RT juga bakal dijadikan obyek bahasan. "Ohh, tapi kalau Pak Bejo pasti jauh dari sifat itu.. . . . hehe!"
"Ya, siapapun sebenarnya kalau bersikap arogan cepat atau lambat bakal terkena batunya. Komarudin itu, entah apa latar belakangnya. Jadi di posisi manapun kita akan sangat tidak mengenakan. Jadi korban, sudah sakit pakai malu. Jadi terdakwa, tidak kebayang hidup di bui selama tujuh tahun. . .!" komentar Kang Murbani tak kalah sengit.
Wak Ja'far tertawa saja. Ia tidak berkomentar. Tentu saja yang lain heran, bukan kebiasaan Wak Ja'far untuk bungkam.
"Apa komentarmu, Wak Ja'far?" tanya Edi Mur seolah memaksa lelaki jomblo itu untuk meramaikan dengan komentar apapun.
"Heran. Cuma heran. Bagaimana peristiwa itu bisa terjadi? Dan bagaimana kita di sini kalau menghadapi peristiwa serupa.,. . . .!" akhirnya Wak Ja'far berkomentar.