1/
Hujan deras sekali, Nak, menderu sejak pagi.
Sederas air mata Emak saat tergagap-gagap melihatmu
sebentar lagi tenggelam, pada air limbah, makin dalam.
Tentu bukan salah Citarum, ia pun semata
menampung endapan keluh-kesah. Sakit dan gundah warga
yang terus disilaukan janji kampanye begitu berlimpah.
Mengusung hitamnya, terus menggunung, serupa sampah.
Entah bagaimana hidup jadi sesengkarut ini
tiap hari kupelihara hati yang rombeng hingga sekali waktu
tersangkut di bantaran kali Cidurian. Ini aku, Nak, Emakmu.
Ibu dari luka demi luka, yang menggores sekujur
dan tak pernah kuperlihatkan padamu perihnya.
Pada sepanjang aliran, pada sepanjang setapak zaman.
2/
Lalu guruh di langit pada gendang telinga, merubung kepala.
Di atas sana serupa jerit alam pada para pecundang,
Kawanan penebar gelap kebencian, penjilat, pemabuk.
Aku, kamu, atau mereka? Entah siapa.
Barangkali tak sadar kita rajin meracuni sungai-sungai,
menyebadani hutan perawan, gunung, danau dan laut.
Tak takutkah kamu, Nak, menerima segenap kutuk.
Kuingatkan, tak bosan. Ini aku Emakmu, perempuan
yang tak rela melihatmu pandai bertingkah, memalukan.
Sedangkan orang yang kau sebut Bapak sejak lama gila.
Kukira ia dengan berat hati telah bergegas ke neraka.
Serapah ini biarlah kelak lumat memberangusnya .
3/
Pada hujan dan guruh yang mengapung, siapakah
merasa sanggup menampung. Borok peradaban
yang terlanjur menjadi kerak, dan bisul bernanah.
Aku tak hendak mengobatinya dengan tangis
yang membanjir menengelamkan. Menghanyutkan,.
Hari ini Bandung Selatan menjadi lautan air mata.
Semua tahu sejak kemarin, minggu lalu, sepuluh tahun silam.
Bentak menyeru salam pada Pak Gubernur, Pak Bupati
dan Pak Walikota. Salam damai ungkapnya, salam sejuk
dan basah. Siapa sebenarnya imam yang amanah.
Bukan yang bualnya menutup bopeng, bertopeng Allah.
Bandung, 27 Februari 2018
Puisi yang lain: