1/
Tidak ada yang lilitannya sedemikian ketat
sedahsyat ini. Terasa di kepala pusingannya
dan aku terus berdoa pada siang
hingga malam melampaui batas kehampaan.
"Biar kuselami gelapnya segenap sayat
yang mengepingiku, Tuhan, aku berserah".
2/
Belum kau rasakan benar cekikan sarkas
seremuk ini. Bukan semata belulang patah
batang leher terulir seperti karet, nafas sesak
dan hidup bakal segera lunas.
"Biar kau rasakan nyaring berdenting, gelegak
panas yang mengelupaskan kulit. Tuhan,
jauh jangkauan sakitnya pendakian ini."
3/
Aku berlari saja tanpa sempat menoleh,
sekali waktu kaki terantuk. Rontok semua
yang pernah lekat, meleleh, juga kau, ingatan.
Lipatan kerontang dari gumpal harap, lenyap.
Laut di depan, gelombangnya sunyi. Guntur
menyulut pohonan hingga berkobaran.
Aku diantara periang menata asap dalam apinya.
4/
Namun di sini aku terpuruk, nyaris ambruk.
Tak ada lambaianku untukmu. "Tuhan,
aku menyerah saja kala ufuk memerah".
Begini aku terdera perih dalam, letih tertanam..
Bandung, 25 Februari 2018
Simak puisi yang lain:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H