Jalan hidup seseorang tidak dapat diduga, tidak dapat dilihat akhirnya supaya begini-begitu, dan terlebih juga penuh liku-liku. Seringkali kita mengharapkan sesuatu sesuai dengan perkiraan dan penilaian kita. Tak jarang kita menginginkan sesuatu yang menurut kita itu yang terbaik. Dan seterusnya. Dan ternyata banyak hal tidak seperti yang kita mau, tidak seperti yang kita suka, dan bhkan tidak seperti yang kita harapkan dan yakini.
Demikian mungkin kita menanggapi berita yang santer berembus hari ini tentang gugat cerai Ahok.
Hanya Allah yang tahu skenario macam apa yang telah tersusun. Hal-hal menggembirakan pernah ada, pernah dirasakan dan dirayakan. Namun hal-hal buruk --yang tidak seorang pun menhendaki- toh harus terjadi juga, meski sudah ditangisi dan disesali. Kegembiraan terasa sangat bermakna ketika seseorang sebelumnya mengalami kepahitan. Demikian pula tentu sebaliknya. Sekali lagi pepatah lama harus kita pegang: manusia berencana, Tuhan yang menentukan.
Dalam bahasa agama disebutkan bahwa manusia wajib berusaha sebaik mungkin, segigih mungkin, untuk apa saja yang diyakini dan perlu diperjuangkan; namun hasil akhir Allah yang menentukan. Hak prerogatif Allah menentukan hasil akhir apapun, termasuk misalnya hal yang paling buruk-nista-salah di mata manusia.
***
Bui, hotel prodeo, penjara, rumah tahanan, atau lembaga pemasyarakatan. Siapa yang pernah membayangkan bakal dialami oleh sosok Basuki Tjahaja Purnama? (Maaf tentu kecuali para pembencinya. Mereka --apapun alasannya- pasti menghendaki bahkan lebih dari itu. Dalam demo berjilid-jilid tempo hari tampak jelas harapan dan doa-doa mereka).
Biasanya seorang kepala daerah tersandung kasus korupsi, grativitasi, suap dan semacam itu. Atau kalau tidak ya kasus narkoba, asusila, dan lainnya. Tapi Ahok tidak. Dan semua orang tahu kenapa ia harus dibuikan akhirnya (dengan sudut pandang maupun pesepsi yang tidak harus sama).
Apa saja yang dilakukan Ahok di sana? Seseorang yang super sibuk ketika menjabat sebagai Wagub dan kemudian Gubernur DKI Jakarta, namun masih menyempatkan diri bertemu dengan warganya, akhirnya harus tersandung, terhenti, terhempas, tertelikung, dan terpuruk pada ruangan kecil berjeruji besi.
Dua tahun harus dijalani Ahok untuk sesuatu yang berawal dari rivalitas kebablasan untuk mengalahkannya dalam Pilgub DKI Jakarta. Andai ia tidak maju sebagai cagub, andai ia memilih menjadi pengusaha saja, andai ia berkompromi dengan banyak pihak yang punya uang-massa-legitimasi keagamaan dan elite parpol tertentu maka mungkin saja ceritanya akan lain sama sekali. Tetapi tentu saja semua 'andai' itu tak berguna sama sekali. Takdir berkehendak lain. Dan bui masih melingkunginya hingga kini, hingga berembus berita sangat mengagetkan: gugat cerai terhadap isterinya!
Di ruangan berjeruji besi itukah Ahok memutuskan sesuatu yang mungkin akhir-akhir ini (atau selama ini) sangat sulit diputuskannya. Cerai. Siapa yang diuntungkan dengan kejadian itu? Setidaknya tayangan tv infotainment tampaknya akan mengambil manfaat ekonomis sebesar-besarnya dari sana.
***