Satu pagi seorang kawan membujukku untuk datang.
"Reuni akan mengembalikanmu pada masa muda.
Hingga uban, kulit keriput, dan punggung terbungkuk
perlahan pergi. Datanglah!" Ia membujuk
dan aku tertunduk.
Bulan dan tahun segera lewat, seperti angin
ia menyisih dari semua persoalan yang membuatnya perih.
Dan pensiun itu tinggal sisa usia, waktu yang terantuk
untuk mawas diri dari semua mimpi gairah muda, tidak
bahkan untuk sekadar selintas mencecapinya dalam reuni.
Dan kawanku terus membujuk hingga hampir siang.
"Ada seseorang yang merasa sangat perlu
untuk berterima kasih padamu. Ada kawan lain akan
memenuhi janjinya," Kembali ia meninggikanku
dengan pujian. "Jika kamu rasa hidupmu kini menjadi hal
yang tidak layak untuk dibincangkan, masih banyak teman lain
lebih memprihatinkan!"
Terpaksa aku mengangguk, sambil terus berpikir
apakah reuni betul-betul penting untuk kusambangi.
Kusiapkan hati, kusiapkan cara mengatasi minder,
kubuang jauh malu dan gagal pada usia tuaku.
Sebulan kemudian ketika hari dan jam yang ditentukan tiba
tak kulihat kawan yang rajin membujuk tempo hari.
"Kemana dia?" tanyaku pada ketua panitia reuni.
Jawabnya mengagetkanku, "Ia tidak pernah datang.
Malu katanya. Seminggu lalu ia menyerah pada penyakitnya!"
Sekemirung, 26 September 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H