Bayangkanlah tersaji secangkir puisi, warna darah
di dalamnya ada bayang sepasang renta
serupa penunggang kuda yang salah arah.
Sedang batas siang terbata meretas langit
seiris awan menggantung dingin untuk pamit
hujan melebat, aku tercengang merapal sunyimu.
Kota-kota kuyup, lengang, setiap orang bergelut
bertahan pada kewarasan, berpacu menghindar
atau mati tertular wabah aneh beraroma amarah.
Mungkin saja si penunggang kuda itu kita
derapnya menggetarkan ujung jemari, ringkik kuda
tembusi jarak, kemana kita mestinya meraih jejak.
Dan engkau masih tersenyum, wajah berkerut pucat
tapi matamu menyala, lebih merah dari darah
mungkin kaulihat dalam pupilku pasrah, aku terpanah.
Bayangkanlah tersaji secangkir puisi, warna kabut
di dalamnya ada bayang sepasang kekasih terbujur pulas
racun tertabur dalam bait-bait gelap, benci berbalas.
Sekemirung, 29 Agustus 2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H