Seorang guru mengaji bertanya kepada beberapa santrinya pada awal pertemuan sesudah sholat maghrib berjamaah di Masjid Al Furqon pada sebuah komplek perumahan.
“Siapa diantara kalian yang kenal dengan Muhammad?”
Belasan santri itu, lelaki-perempuan, mengacungkan jari telunjuknya tinggi-tinggi. “Saya, Pak!” ucap anak-anak serempak. Agaknya tidak ada satu pun yang mau dicap malas dan bodoh.
Pak Guru Ngaji tahu persis ke arah mana anak-anak akan menjawab pertanyaannya, namun bukan itu yang hendak ia tanyakan. “Ini bukan tentang rasul dan junjungan kita sebagai muslim-muslimah. Bukan manusia mulia yang membawa agama ‘rahmatan lil alamin’. . . . .!”
“Lalu siapa, Pak?” tanya Lastami mendahului yang lain.
Pak Guru tersenyum, dan memperhatikan para santrinya berpikir keras. “Perhatikan di sekitar kita, bacalah koran dan nonton berita televisi. Betapa banyak nama Muhammad yang hanya meminjam nama tanpa penyadari betapa tinggi hakikat nama itu. Mereka menjadi kriminal, pencoleng, penjudi, pemabuk, maksiat, dan bahkan menjadi penista agama yang nyata. . . .!”
“Lalu bagaimana mestinya memberikan nama pada seseorang, Pak?” tanya Wiryawan kemudian.
“Nah, itu pertanyaan cerdas dan futuristik. Setiap calon orang tua haruslah berpikir bagaimana memberi nama anaknya nanti. Satu hal yang harus diingat, bukan karena pilihan nama besar maka seorang anak kemudian tumbuh menjadi pribadi yang berakhlak mulia. Sebaliknya karena pendidikan, lingkungan, bimbingan orangtualah penyebabnya. Sesederhana apapun nama seseorang kalau perilaku dan akhlaknya mulia insya Allah tak akan ada orang yang mencemooh an menghina. . . . .!” ucap Pak Guru Mengaji seraya menutup dialog pembuka, kemudian memulai pelajaran mengaji. Anak-anak yang berusia setingkat SMP dan SMA di kampung itu dibiasakan melakukan dialog kecil untuk menggugah wawasan dan perhatian mereka akan persoalan hidup sehari-hari!
***
Masdi dengan Mat Sakri berkawan karib sejak dari kampung, tak jarang keduanya saling menunjukkan keunggulan mereka dalam berislam. Mereka luluan SMK dan sudah bekerja sebagai wiraswasta. Masdi sebagai penjual ayam goreng setiap sore hingga malam di teras toko kelontong Babah Liong, sedangkan Mas Sakri menjadi penjual kain batik yang mangkal dari pagi hingga petang di kaki-lima dekat Pasar Anyar.
“Tunjukkan padaku dimana kekuranganku dalam berislam?” ucap Masdi suatu malam sambil menunggu pesanan dua potong ayam, tahu dan tempe yang sedang digoreng. “Kamu ‘kan beberapa kali lewat di tempatku berdagang. Kamu melihat caraku menawarkan dagangan, bahkan tahu persis bagaimana caraku mengambil keuntungan. . . . .!”