Bingkai
Begini rasanya terperangkap lamunan
rimba raya silam yang timbul-tenggelam
dalam ingatan, ada diantaranya potongan sesal
bayangan kelam. Beruntung aku
mampu membingkainya hingga serupa kado
pernikahanmu yang tertunda berbelas tahun
semata menunggu kesia-siaan
gerbang keluarga yang kuncup dalam rencana
Seturut kaum yang abai berhitung
kita pun sengaja melalaikan
restu orang tua, betapapun syarat kebaikan
diukir-dirajut, betapapun cinta terlanjur tunas
di beranda hati, menggumamkan lantunan puja-puji
namun harap kejujuran tak pernah sampai
Kini tumpukan bingkai itu tertanam subur
hingga menjadi belantara cerita dan canda-tawa
tak bosan untuk menjejakinya
bahkan hingga waktu entah nanti. Sepotong senja
luntur, sebaris puisi menunda, segenggam peristiwa
kelam, sepercik tanya, dan entah apa lagi
Semua terbingkai begitu rapi
agar kita mengenali yang tercecap dan termimpi
Tahun demi tahun menua
dan guncangan kecewa tak juga jeda, ada terasa
satu bingkai yang mestinya kusematkan. Bingkai kesaksian
dua orang yang disucikan untuk bersatu, yang terjadi
justru saling mengingkari. Di bingkai itu kini semua sesal
dijejalkan, dilumatkan, dimatikan. Aku serupa
para pemuja kesetiaan lain, tak kuasa untuk berdamai
Sekemirung, 3 Mei 2016
Perjalanan
Di Jakarta, dalam gemerlap keringat
Sebuah alamat lumer dalam adonan pepat
Tak terurai hanya dengan niat
Seorang tua terseok, merasa diri jauh tersesat
Meniti laju bus trans dari halte ke halte
Juga menyuruk tangga jembatan penyeberangan
Jalanan menjelajah alur mengalir jiwa lemah
Kaki ini mendaki, lengan ini melambai lunglai
Gerimis memaksa langkah makin gegas
Palmerah, Slipi, Komdak lalu ke timur kota
Tol padat dengan rumah-rumah mewah beroda
Arus enggan susut jikapun kemarau lepas
Di Jakarta, hari tak pernah usai
Banyak lelakon baru permulaan, kemanusiaan
Jaring kusut, jerat
Di sisa usia pergumulan masih juga rahasia
Cikarang, 7 Oktober 2016
Keretaku
Naiklah gegas ke dalam keretaku
kereta azimat yang melaju meninggalkan debu
kita akan melesat
menyusuri tepian padang, tumpukan pasir lembut
juga angin yang mengelus punggung
mengulur khayal sepanjang waktu
cepat naiklah ke dalam keretaku
kereta kuda besi yang meluncur sesaat beku
Kini semua berebut tahta
sedangkan setapak entah dimana
kita berjalan ke semua arah
sambil memacu nafas, dengus yang lepas
hingga suatu masa
tak ada lagi yang tidak terurai di padang luas
di sana keakuan kita dilucuti
teriris kerat demi kerat untuk rugi
Hari yang memberat
seperti dikubangi racun cinta sesaat
pada pohon-pohon merakit biji suara
bersua geram makin padat
pada lautan yang dibingkai di tepinya
mayat-mayat menepi
semua gagal tembusi pasrah
retak terpanggang siang kereta pun terbang