Lihat ke Halaman Asli

Sugiyanto Hadi Prayitno

TERVERIFIKASI

Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Cinta yang Menua - Bab VI – Empat (Tantangan 100 Hari Menulis Novel)

Diperbarui: 31 Mei 2016   16:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

burning house

Suasana restoran sampai malam tetap ramai. Keluar-masuk silih berganti. Pelayan lalu-lalang untuk  melayanan pesanan pengunjung. Alunan musik instumentalia lagu-lagu daerah, diselang-seling dengan lagu Mandarin, mengiringi suara sendok-garpu, percakapan, galak-tawa, dan  suara kompor di dapur.

Wasi makan dengan cepat, tentu saja sisa makanan masih banyak, dan seperti kata Haji Lolong, ada sepuluh orang lain yang sudah menunggu. Mereka merupakan orang-orang yang kurang mampu, para pengurus masjid, dan petugas kebersihan jalan umum. Mereka diundang secara acak dari beberapa kawasan, lalu disediakan jemputan dan diberi uang saku ala kadarnya.

Sebelum mereka mulai makan, Haji Lolong memberi beberapa kata petuah. “Nah, kalian makan enak malam ini ya. Tapi ingat, makan enak itu melenakan dan tidak sehat. Makan enak berarti makan banyak. Jika sudah begitu pasti malas mengerjakan apa-apa. Bahkan bisa lupa sholat dan ngaji, lupa bekerja, dan lupa segalanya.. . . . . .!”

“Tapi Pak Haji pasti makan enak tiap hari!” celetuk salah seorang petugas kebersihan masjid.

Haji Lolong tertawa lebar sambil mengangguk-angguk. “Jangan lihat badanku yang besar ini. Lihatlah perutku, tidak buncit ‘kan? Sebab aku makan dengan hidangan sederhana, yang penting sehat. Tidak tiap minggu aku makan dengan menu seperti ini. Ini gara-gara menghormati Jon Bongsor saja. . . . .!”

“Oh, begitu ya? Masak sih orang kaya makannya sederhana?” tanya seorang ibu yang sehari-harinya bekerja sebagai pemulung.

“Iya, Bu. Makan sederhana itu sehat. Bekerja dan beribadah jadi bersemangat.. . . . . Nah, sudah dulu ngobrolnya. Nanti malah tidak jadi makan. Ayo makan sampai kenyang. Tapi jangan terburu-buru, jangan rebutan, jangan makan yang terlalu pedas. . . . . .!” tambah Wasi sambil berdiri dari duduknya.

Kesepuluh orang itu mengambil kursi masing-masing. Lalu piring diedarkan bersama sendok garpu. Namun ada yang lebih suka menggunakan tangan saja. Beberapa orang yang makan menggunakan tangan sudah bersiap dengan mencuci tangan dengan sangat bersih sambil mengingat-ingat betapapun nafsu makan memuncak tangan kiri tetap tidak dipergunakan.

“Ayo kita pindah ke ruangan lain. Tempatnya sudah disiapkan. Biar teman-teman kita ini makan-minum dengan leluasa, tidak canggung karena ada kita. . . . . .!” ajak Haji Lolong kepada Arjo dan Wasi.

Begitu orang-orang itu mulai sibuk makan, ketiganya pindah ke ruangan lain. Dengan apa yang dilihatnya itu Arjo sekali lagi menemukan sesuatu yang tak terduga pada sosok Bro Haji. Apa yang dilihatnya dalam beberapa jam ini berbeda sama sekali dengan semua hampir-hampir menjadi keyakinannya. Arjo mengingat pembicaraan seorang  kawan sesama pengojek sepeda onthel  yang mengomentari bahwa untuk bertemu dengan Haji Lolong harus memiliki nyawa rangkap.

Mereka pindah di ruangan yang lebih kecil, namun tetap dikelilingi kaca dengan hiasan lukisan khas Tiongkok. Sebelum duduk Arjo minta izin untuk pergi ke ruangan khusus untuk perokok. Dari tadi ia menahan keinginan untuk menghisap rokok kretek yang dikantonginya. Kepulan asap setelah makan akan membuatnya melayang untuk memikirkan hal-hal yang kadang terasa muskil terlebih jika bebicara soal kreativitas dalam berkesenian.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline