Lihat ke Halaman Asli

Sugiyanto Hadi Prayitno

TERVERIFIKASI

Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Cinta yang Menua - Bab VI – Tiga (Tantangan 100 Hari Menulis Novel)

Diperbarui: 27 Mei 2016   08:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

python snake head

Tulisan Restoran Daun Bambu terlihat mencolok pada papan nama iklan menggunakan lampu neon warna-warni, serta lampu kelap-kelip. Gedungnya berlantai tiga, dari luar terlihat sangat meriah, dengan live music lagu-lagu Mandarin terdengar nyaring mendayu-dayu.

“Terlalu gampang mencari restoran ini. Pasti semua orang tahu belaka dalam waktu singkat bila ada kejadian apa saja di sini. . . . .!” gumam Wasi sambil memundurkan mobilnya pada satu-satunya tempat parkir yang baru ditinggalkan mobil seorang pengunujng restoran.

Dengan balutan pakaian sportif serba tertutup warna biru muda dengan sepatu dari bahan kanvas, Wasi melangkah memasuki restoran. Ia lupa tidak menanyakan di lantai berapa papinya mengambil tempat. Ia berhenti untuk bertanya kepada pelayan  sebelum seseorang di sudut jauh keluar dari ruang kaca. Ya, itu Arjo yang dikenalnya. Sosoknya menjulang untuk gampang dikenali dari jauh sekalipun.

Wasi melangkah tergesa ke arah lelaki itu. “Bang Arjo?”

“Bukan! Ada nama lain lagi selain itu. . . . .!” jawab Arjo sambil menahan senyum. Ia berteka-teki sambil berharap Wasi tak mungkin tahu nama pemberian ayah Wasi.

“Jon Bongsor?” seru Wasi sengaja dikeraskan agar didengar orang-orang yang duduk di lantai pertama restoran itu. Dan seperti yang diharapkannya, beberapa yang melihat siapa orang yang dipenggil spontan terkekeh geli. Sebab panggilan itu sangat tepat.

Arjo kecewa sebab perkiraannya salah. Namun ia tertawa oleh situasi mendadak yang membuat orang-orang lain pun pecah tawa kegelian. Beberapa gerakan konyol dilakukan Arjo, serupa pemain pantomim sedang memperagakan gerakan patah-patah karakter robot. Wasi pun ikut tertawa. 

“Nama itu sangat spesial hingga membuat orang yang mendengar, lalu membandingkan dengan orang yang dipanggil tak mampu menutupi rasa geli. . . . . .!” komentar Wasi ketika menjabat tangan Arjo.

“Nama itu pemberian ayahmu. Yah, mudah-mudahan membawa hoki. . . . . . .!” gumam Arjo karena seketika terpikir jangan-jangan nasib buruk yang terus melanda kehidupannya tak lain karena nama yang salah, nama yang tidak membawa hoki. “Ayo, ayahmu sudah menunggu di dalam. . . .!”

Masuk kedalam ruang kaca, Wasi mendapati ayahnya masih sibuk makan. Mulut penuh makanan, tangan kiri dan kanan menggnatikan sendok garpu untuk memudahkan menaklukan menyesap daging cangkang udang galah besar. Piring-piring di meja baru beberapa saja yang tersentuh sendok. Yang lain masih utuh. Wasi jadi merasa lapar sekali. . .  .!

“Boleh ikut nimbrung, Pa? Kayaknya tersedia hidangan yang luar biasa istimewa hari ini. Kalau tahu begini messtinya Wasi puasa dulu barang seminggu supaya bisa bikut menghabiskan semua makanan yang tersedia. . . . .!”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline