Lihat ke Halaman Asli

Sugiyanto Hadi Prayitno

TERVERIFIKASI

Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Cinta yang Menua - Bab V – Empat (Tantangan 100 Hari Menulis Novel)

Diperbarui: 14 Mei 2016   23:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Zhen Orchid

dalam jok belakang sedan mewah warna biru tua itu Arjo mendapati seorang lelaki hampir seusianya, yang perlente dan sangat wangi. Rambut menghitam dengan beberapa uban, mata tajam, dan senyum sangat manis. Kacamata, jam angan, hingga sepatu, semua bermerek produk import terbatas. Tanda-tanda orang kaya terlihat jelas pada penampilan itu.

Arjo jadi kehabisan daya kritis untuk berpikir orang macam apa yang sedang dihadapinya kini. Belum berkata sesuatu lelaki itu mengajaknya bersalaman.

“Pak Arjo ya. . . . . .? Begitu sulitnya untuk bertemu, sampai harus dilakukan jemput paksa seperti ini. . . .hehehe!” ucap lelaki itu tidak menunjukkan wajah sangar dan menakutkan seperti banyak diceritakan orang.

“Ya, Arjo Kemplu nama saya.. . . .!” jawab Arjo dengan perasaan was-was. Ia sudah menduga bakal terjadi aksi kekerasan lagi di dalam mobil, dan itu sama sekali tidak mengenakan.

“Perkenalkan namaku Haji Lolong. Penguasa Pasar Kebon Klengkeng. Kalau kamu belum kenal sepak terjangku di sana kapan-kapan kamu boleh cari tahu dengan semua penghuni pasar itu.. . .hehehe!” kata lelaki itu sambil melepaskan telapak tangan.

Arjo mencermati sepintas. Lelaki itu gemar sekali terkekeh jelek . . . .hehehe. . . ., serupa badut tidak lucu salah tingkah. Sepintas ia menilai orang yang bernama Haji Lolong itu berbadan biasa saja. Tidak kekar dan menakutkan yang suka main tampar dan tendang. Karena bakal gampang dibanting lawannya jika main kasar. Tapi entah kewibawaan yang terpancar dari suara, wajah, dan sikapnya. 

Mobil meluncur pelan diantara lalu-lalang orang ke arah timur meninggalkan kawasan terminal bus antar kota antar provinsi. Malam seperti merambat meninggi, gerimis reda. Lampu-lampu merkuri berseliweran di luar jendela mobil. Beberapa kali berpapasan dengan bus antar kota antar provinsi sehingga harus menepi.

“Saya bukan menghindar atau lari. Tapi cuma heran saja, bagaiamana mungkin seorang preman besar yang banyak urusan mau menemui saya. Ada urusan besar apa sehingga memerlukan kedatangan saya. . . . . !” jawab Arjo sambil memancing niat dan maksud tersembunyi apa dibaliknya peristiwa itu.

Haji Lolong tidak segera menjawab. Ia meminta sopir untuk berbelok ke rumah makan langganannya. Sebuah restoran chines food dengan tulisan halal di sudut papan nama. Arjo makin tak mengerti maksud apa gerangan yang dikandung di benak lelaki itu. Ia menurut saja untuk ikut turun dari mobil begitu Haji Lolong, sopir dan seorang pengawal mendahului turun.

“Biarlah saya tunggu di luar saja. Saya mau merokok. . . . .!” ujar Arjo kepada Haji Lolong.

“Lho ini jamuan justru untuk menghormatimu. Kamu tamuku malam ini. Satu-satunya tamu yang tak gampang aku temui. Bahkan para birokrat maupun politisi pun lebih mudah.. . . .hehehe! Ayo masuk, jangan sungkan-sungkan. Aku sudah pesan tempat paling baik juga makanan paling enak di restoran ini. . . . .!” kata Haji lolong setengah memaksa. “Tapi kalau menurut pendapatmu tempat ini kurang memadai, kita bisa pindah ke tempat lain sesuai pilihanmu. . . . .! Tapi tentu kamu tahu resikonya, kamu yang harus bayar. . . . .hehehe!”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline