Lihat ke Halaman Asli

Sugiyanto Hadi Prayitno

TERVERIFIKASI

Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Cinta yang Menua - Bab V – Dua

Diperbarui: 5 Mei 2016   11:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pengeras suara masjid

Hujan belum juga reda ketika Arjo mengucapkan salam pada rekaat terakhir sholat Maghrib berjamaah di Masjid itu. Ia mengusapkan kedua telapak tangannya kewajah.  “Alhamdulillah!” ucapnya kemudian smbil menyalami jemaah di sebelah kanan dan kirinya. Lalu membaca mengucap shalawat, doa keselamatan dunia-akherat, doa kepada kedua orang tuanya, serta beberapa doa lain yang dihafalnya luar kepala.

Arjo berdzikir, dan diteruskan dengan sholat sunah ba’da maghrib. Kemudian dicarinya tempat di pojok untuk sekedar bertafakur. Kebiasaannya tidak segera meninggalkan masjid setelah rangkaian sholat fardu dan sholat sunah. Kadang diteruskan dengan tadarusan, tapi yang paling sering dilakukan sekadar bertafakur untuk mengukur dan menakar apa saja yang telah dilakukan, diucapkan, dan dialami sampai dengan ia terduduk di sudut masjid itu. Di masjidlah ia membiasakan diri untuk menganggapnya sebagai rumah.

Ia membaca nama masjid pada tulisan di papan pengumuman masjid. Masjid Al Furqon namanya. Menurut taksirannya masjid ini dapat menampung jemaah sholat hingga dua ratus orang pada lantai pertama. Sedangkan lantai ke dua dipergunakan untuk perkantoran dan sarana pendidikan keagamaan. 

Isteri pertama Arjo meninggal dunia pada usia perkawinan ke tujuh. Isteri kedua yang cantik bak bintang sinetron itu disambar orang. Keduanya tidak meninggalkan anak.

Sedangkan isteri ketiga, yang berbeda usia hampir dua puluh tahun dengan Arjo, akhirnya memilih sendiri saja karena merasa tidak ada kecocokan lagi. Terlebih juga karena beda status sosial-ekonomi dan agama. Isterinya dari keluarga saudagar kaya, dan tidak ada kata berkekurangan. Bahkan Arjo pun mampu mengikuti jejak mereka dengan menjadi pengusaha. Namun dalam hati kecilnya tak sanggup mengelak dari tuntutan untuk pindah kembali pada profesi lama yang tidak semata memikirkan untung-rugi, dan tidak perlu harus melakukan apa saja untuk mendapatkan keuntungan besar.

Sudah lama ia tidak dapat merasakan suasana sebuah rumah tinggal. Sejak ia pergi begitu saja. Menjauhi mereka, sekaligus meninggalkan rumah besar yang dibangunnya bersama isteri beserta kehidupan rumah-tangga belasan tahu lamanya.

“Cerai memang bukan pilihan terbaik. Namun dengan putusan inilah kita dapat saling berinstrospeksi bahwa ada proses dan kondisi yang salah yang mepertemukan kita sebagai suami-isteri.. . . . .!” ujar Retno Pertiwi, isteri Arjo ke tiga, dengan empat anak yang sudah duduk di bangka SMA dan perguruan tinggi.

“Apakah ada lelaki lain yang menjanjikanmu banyak hal yang lebih baik daripada kehidupan kita sekarang?” tanya Arjo mencoba untuk mempertahankan keutuhan rumah-tangga.

“Semoga tidak, dan sampai saat ini memang tidak. Empat orang anak darimu yang atas permintaanku harus kuasuh setelah ini sesuai kesanggupanku bukan pilihan gampang. Aku cuma menghendaki mereka menjadi seniman sepertimu, aku ingin mereka menjadi pengusaha. Jangan kamu cekoki mereka dengan hal-hal aneh seputar dunia seni dan budaya yang sama sekali tidak menjamin masa depan itu. . . . . .!”

Tidak ada pertengkaran, apalagi saling marah dan bermusuhan seperti kebanyakan proses perceraian lain. Tidak juga ada orang lain dari kedua belah keluarga yang mempengaruhi. Retno Pertiwi hanya kurang suka pada perilaku Arjo yang kurang berkonsentrasi dalam berniaga. Lelaki itu dinilainya lebih antusias menulis fiksi, menulis naskah drama, bahkan masih sering mengambil peran dalam sebuah pementasan teater meski hasilnya secara finansial nol besar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline