Berwudhu via www.akhwatindonesia.net
Arjo menggunakan bus ekonomi untuk kembali ketempat tingganya. Di daerah padat belakang gedung-gedung megah kota metropolitan. Sudah mandi, ganti kaos yang dibelinya pada penjual di toko busana. Serta masuk ke restoran cukup mewah. Ketika makan dan menikmati gaya orang kaya seketika hilang sakit dan memar di sekujur tubuh. Yang ada hanya rasa bahagia, dan suka-cita. Apapun caranya ternyata sangat tak terduga bahwa rezeki bisa mampir kapan saja, dari tempat yang tak terduga, bahkan juga seberapa pun besarnya.
“Kepala kakap, udang, dan rendang. Nasi tiga sekaligus. Juga es jeruk. . . . .!” ucap Arjo ketika ditanyamenu apa yang dipilihnya. Suaranya mantap dan bergaya. Wajahnya dibuat sehebat dan berwibawa menyerupai seorang cagub yang ahli tata negara itu. Oya, tentu bibirnya dibuat agak mampet seperti sikap orang yang sedang menahan buang hajat.
“Sedang panen raya, Bos?” goda seorang pelayan lelaki dengan setengah mengejek.
Arjo terjingkat dan sempat lupa pada mimik hebat yang sedang diperankannya. Tiba-tiba ia kembali pada wajah asli, seorang tua yang rombeng namun penuh harapan. Seketika wajahnya beralih menjadi wajah orang kelaparan.
“Jangan banyak cakap kau. Abang bukan petani, tapi saudagar jasa serba aneka. . .!”
“Saudagar macam mana pula itu?” balas si pelayan dengan logat Medan kental.
“Macam pala kau itu. . . . .hahahaha. . . . .! Cepatlah kau siapkan pesananku. Jangan pula sempat nanti kumakan pala kau. . . . .hahaha!” Arjo geli sendiri.
Perjalanan hidup mempertemukannya dengan beberapa suku bangsa dengan cukup intens. Dan itu kenapa secara umum ia mampu menirupkan logat dan bahasa mereka. Ketika hidangan tersaji, Arjo tak ingat lagi pada peran apapun. Jangan lagi mimik dengan bibir mampet seorang lelaki menahan hajat. Ia tak memperhatikan bahwa di kantong celana sebuah gembolan besar menarik perhatian seorang pencopet yang duduk mencakung di sisi tangga masuk restoran. Otaknya sedang sibuk mencari modus. Lalau ia mengerjap-ngerjapkan mata seperti biasa ketika sedang berpikir keras danmendesak. Sampai kemudian seseorang menyodorkan selembar uang warna merah di depan hidungnya.
“Makanlah, dan jangan pernah berpikir mampu mengakaliku dengan keterampilan tanganmu itu. Aku pernah dalam posisimu, jadi tahu persis bagaimana kondisi perutmu saat ini. . . . . !” gumam Arjo seraya beranjak pergi.
Harta yang nomplok begitu saja, makan siang menjelang sore yang mewah, kedermawanan yang menjebak, serta terutama harapan hidup yang lebih berwarna kedepan menjadikan Arjo kembali menemukan insting kearifan. Sepuluh juta rupiah ada di kantong Arjo, dikurangi harga makanan dan selembar untuk si pencopet. Jumlah yang tak banyak bagi si kaya tentu. Namun bagi Arjo, entah sudah berapa belas tahun lalu ia pernah memegang uang sebanyak itu.