[caption caption="landscape water color painting"][/caption]Arjo terbatuk kecil, dan berjalan mendekat dengan berbagai perkiraan yang ada dalam pikirannya. Dan secepat itu berusaha menghapus kegugupannya. “Ohh, ada tamu rupanya. Maaf, tapi kenapa tidak ada sopan-santun sedikit pun untuk sekadar mengetuk pintu dan uluk salam misalnya. . . .!”
Perempuan muda itu menoleh, dan tersenyum. Tanpa sedikit pun tergerak dari tempat duduknya. Lalu tertawa tergelak-gelak seperti orang gila. “Akulah pemilik rumah ini. Namaku Olleka. Jadi siapa yang tamu di sini? Siapa yang mestinya ketuk pintu dan mengucap salam?”
Arjo tercenung, mati kutu oleh jawaban yang jitu itu, menarik nafas panjang. Namun tetap saja penuh penasaran. Apa hubungannya kedatangan perempuan itu dengan kejadian penculikan? Ada hubungan apa dengan Haji Lolong?
“Ohya, inilah yang bernama Arjo, ya? Arjo Kemplu, sebuah nama yang aneh dan berbau premanisme. Barangkali memang benar sangkaan suamiku. Arjo Kemplu tak lebih dari bandit kecil-kecilan yang sok jago dengan tindakan heroik membela perempuan cantik dan populer bernama Wasistra Anggraini. . . . . .!”
Arjo tercengang dan tidak segera tahu ke arah arah mana pembicaraan perempuan berpenampilan sangat lelaki di depannya itu. Ia berpikir keras menghubungkan setiap kata yang baru saja didengarnya dengan apa saja yang sudah dialaminya. Tapi tetap saja buntu. Tidak nyambung, dan tidak tahu.
Belum sempat Arjo berkata apapun perempuan itu kembali nerocos. “Kukira Arjo masih muda dan berpenampilan cakep kayak bintang sinetron. Rupanya dugaanku jauh panggang dari api. Wajah keriput, tua renta dengan tubuh gontai memprihatinkan. Apakah aku tidak salah lihat?”
“Ya, memang inilah bentuk fisikku, Nona Olleka. Tapi bentuk ini sama sekali tidak menggambarkan kobaran semangat hidup di dada ini. Juga semangat mempertahankan diri meski harus melakukan apapun, dan bahkan ketika diperlakukan bagaimana pun. Orang boleh meremehkan penampilanku tapi soal kelelakian dengan semua aspeknya boleh diadu. . . . . .!” sahut Arjo ganti menggertak. Pandangannya lurus, dingin, Wajahnya datar saja, seperti karakter antagonis dalam drama kriminal yang sering diperankannya.
“Ohh, begitu ya? Tinggi juga omonganmu, Pak Tua. . . . .!”
“Nona Olleka boleh memanggilku Arjo saja. Supaya gampang, dan segera selesai urusan kita ini. . . . . .!” ujar Arjo sambil menuju ke kursi lain, lalu duduk begitu saja dengan sikap waspada. Meski sama sekali tidak tahu urusan apa dengan Olleka, tapi pastilah terkait dengan soal penculikan dan penyanderaan dirinya oleh dua orang mabuk yang terikat dan pingsan di ruang depan.
Sejenak diam, sunyi. Tidak ada kata-kata, juga gerakan tubuh. Perempuan itu tiba-tiba berdiri, dan bersamaan dengan itu Arjo pun spontan berdiri.
“Ayo kita lihat apa yang terjadi dengan dua orang yang kusuruh mengawalmu ke sini. Aku sangat heran kenapa kamu dapat terlepas dari ikatan. . .. .!” ujar Olleka seraya berjalan ke ruang depan. Arjo mengikuti dari belakang. Dicermatinya perempuan berkulit terang dengan rambut cepak, dengan pakaian ketat dari kulit itu. Dari belakang tidak terlihat sedikit pun gaya perempuan yang ditampilkannya.