Lihat ke Halaman Asli

Sugiyanto Hadi Prayitno

TERVERIFIKASI

Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

(My Diary) Secangkir Teh

Diperbarui: 17 April 2016   00:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="my diary event fiksiana community"][/caption]

My Diary

Selalu ada yang ingin kuungkap, namun ragu apakah ini penting bagi orang lain. Karena semua ini hanya terjadi dalam keluargaku. Cerita yang aneh mungkin, tapi bukan tak mungkin terjadi pula pada keluarga lain. Betapa yang lemah selalu saja dilupakan, disingkirkan, bahkan ditinggalkan, meski itu untuk seorang isteri bahkan ibu. Dan hal itu yang kutahu persis terjadi atas diriku.

Malam itu, belum terlalu larut. Kami berkumpul di ruang tengah. Aku terbaring dengan kepala ditegakkan. Dan pembicaraan panjang dilakukan suami, sangat berhati-hati dan penuh pertimbangan, namun isinya tidak berubah dari minggu lalu, sebulan lalu, tiga bulan lalu: mengajakku pergi.

“Pergi saja kalau memang sudah berbulat hati untuk pergi, sekalian dengan yang lain. Bikinlah senyaman dan semudah mungkin. Kudoakan semua lancar. Dan jangan pernah kembali lagi. Aku masih cukup kuat untuk hidup sendiri meski dalam keadaan sakit  seperti ini. . . .”

Itu kata-kata terakhirku sebelum mereka berangkat. Ya, suami dan empat anakku akan meninggalkanku begitu saja. Sebenarnya aku diajaknya pula, namun aku menolak. Sangat tidak mungkin dalam kondisi sakit begini melakukan perjalanan jauh, sulit dan membahayakan. Harus naik-turun bus umum, berganti-ganti pula, sebelum kemudian naik kapal penumpang, lalu naik ojek, ke pulau terpencil jauh di utara sana. Aku tegas menolak.

“Kita sudah tidak punya apa-apa lagi di sini, Bu. Itulah sebabnya kita harus pergi untuk mencari harapan baru, ditempat baru. Kang Muryawan sudah menjamin bakal memberi kita sebidang tanah di seberang sana. Kita boleh membangun rumah sederhana di atasnya. Lalu berladang palawija sambil bekerja apa saja untuk menyambung hidup. Kita masih punya harapan di sana, Bu. . . . .” bujuk Sukir, suamiku, dengan suara lembut, sekata demi sekata seperti orang mengeja bacaan yang sulit dilafalkan.

Tentu Sukir sangat paham kondisiku, sakitku. Sudah tiga tahun ini aku didera penyakit dalam hingga nyaris lumpuh, bahkan untuk berjalan pun harus ditopang orang lain.

“Aku tidak akan pergi kemana pun. Kalau waktuku tiba, aku akan tetap di sini. Dekat dengan ibu-bapak, dengan kakek-nenek, dan para paman maupun keponakan yang telah pergi mendahului. Pasti mereka menyambutku dengan sangat senang karena kami bakal berkumpul kembali meski dalam kondisi yang berbeda. . . .!” jawabku dengan suara lirih.

Kulihat satu persatu wajah mereka. Bapak dan empat anak yang penuh harap. Aku hanya dapat memiringkan kepala dengan tubuh terbaring di atas bale-bale beralaskan kasur tipis.

“Jangan berkata begitu, Bu. Memang tidak ada orang yang mampu menghindar dari kematian. Namun rasaku tidak akan secepat itu. Separah apapun penyakit yang ibu derita, masih ada harapan kalau ibu sendiri penuh semangat untuk sembuh. Dan di luar pulau sana kukira ibu akan mendapatkan kesembuhan.. . . . .!” gumam Sukir seperti tak bosan-bosan membujuk.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline