Lihat ke Halaman Asli

Sugiyanto Hadi Prayitno

TERVERIFIKASI

Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

(Tantangan 100 Hari Menulis Novel) Cinta yang Menua # Bab III – Satu

Diperbarui: 11 April 2016   00:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="jakarta pagi. Sumber:belindch.wordpress.com"][/caption]Jelang pukul enam pagi. Sorot matahari masih kemerahan di ufuk imur, terhalang gedung-gedung tinggi, juga pepohonan. Sinarnya memantulkan siluet dan bayangan artistik, khas suasana pagi.

Itulah yang dinikmati Wasi dalam perjalanan yang djarang dilakukannya sendiri. Biasanya ia menggunakan angkutan umum. Berbaur dengan warga kota lain. Berdesakan, berebut antrian, dan terutama menikmati banyak perbincangan liar mengenai apa saja. Sebuah pilihan yang tidak gampang. Namun semua itu menjadi sumber untuk menggali ide segar dalam usaha menambah bobot penampilannya sebagai seorang host acara televisi.

Namun pagi itu ia punya pikiran lain. Berangkat lebih pagi, dan mengendarai mobil sendiri ia merasa menjadi orang lain sebenarnya. Kalau biasanya ia tidak peduli pada kemacetan dan kondisi jalan, kini ia sangat fokus. Jalan-jalan protokol di pingggiran kota metropolitan itu seperti dalam istilah petugas jalan ramai lancar, tidak seperti hari-hari biasanya. Memprediksi bagaimana kondisi jalan dengan lalu-lintasnya sering hanya bisa mengandalkan perasaan.

***

Dari rumahnya di kawasan selatan, Wasi mengendarai sendiri mobilnya, sedan dengan merk Eropa, mewah, keluaran terakhir. Sesuatu yang selama ini sangat dijaga untuk tidak diperlihatkan kepada teman sekerja, terlebih kepada para pimpinan perusahaan tempatnya bekerja.

Ini semata untuk menjaga perasaaan, dan terutama untuk tidak menimbulkan dugaan yang bermacam-macam. Namun seberapapun rapat Wasi coba menutupi latar-belakang dirinya, lambat atau cepat toh terendus juga.

“Aku tidak mau pamer, tapi kalau ada ungkapan tidak mengenakkan terkait dengan musibah kemarin, rasanya aku perlu juga berterus-terang siapa diriku!” gumam Wasi sambil menoleh ka arah spion kanan untuk memastikan ia bisa berbelok ka arah kanan dengan aman.

Suara musik blues instrumentalia dengan dominasi suara gitar menggema di dalam mobil mungil itu. Wasi tersenyum sendiri manakala ingat bagaimana dialog dengan orang-orang yang dikenalnya yang dirasa aneh.

“Aku sama sekali tidak menyangka ada darah Tionghoa dalam tubuhmu. Matamu bulat, kulit kehitaman, dengan rambut hitam berombak.. . . .!” desis Bang Pawitra yang bertubuh ceking dan lurus seperti mendesahkan kekaguman yang tersembunyi. Lelaki itu baru sebulan bertemu  dalam profesinya sebagai seorang motivator bagi karyawan dan buruh industri kecil bagi segenap lapisan masyarakat

“Apa perlu obrolan serius tentang etnis ditonjolkan? Orang kerap salah sangka dan cenderung sensitif.. . . . .!” Wasi hanya tersenyum, tentu ada rasa bangga atas sanjungan itu. 

“Mestinya bangsa ini mulai belajar untuk saling terbuka mengenai persoalan suku-agama-ras dan antar golongan. Jika sentimen, stigma, kekuatiran dan ketakutan mestinya tidak justru awet dipelihara.  Karena sampai kapan pun soal itu bakal menjadi ganjalan besar yang tak terselesaikan.  Kuliahmu di Fakultas Sosial dan Politik?”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline