Lihat ke Halaman Asli

Sugiyanto Hadi Prayitno

TERVERIFIKASI

Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

(Novel FC) Cinta yang Menua #Bab II–Satu

Diperbarui: 25 Maret 2016   10:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="bicycles"][/caption]

[/caption]Tantangan 100 Hari Menulis Novel – Fiksiana Community

Angin pagi semilir dari arah kebun di belakang rumah tua itu. Ada beberapa pohon tumbuh rindang di luar. Aneka pohon buah dipelihara pemiliknya dari mulai buah rmbutan, jambu air, nangka, kelengkeng, hingga buah mangga. Bila musim buah tiba para penghuni rumah kontrak di situ diberi kebebasan untuk memetik dan menikmatinya.

Arjo Kemlu termangu di balik daun jendela kaca yang terbuka lebar. Angin leluasa masuk dan menyejukkan ruangan. Lelaki tua itu duduk di kursi kayu dan anyaman rotan. Kaos longgar dan kain sarung kotak-kotak bergaris hitam-putih-biru dikenakannya di dalam kamar tiga kali empat meter itu. Hanya beberapa perabotan sederhana, tanpa pesawat tv atau radio, hanya kompor gas kecil dan beberapa perabotan untuk memasak. Di dinding yang kusam dan warna cat yang sudah mengelupas hanya ada sebuah lukisan aneka sepeda dengan gaya dekoratif menggunakan cat air menjadi hiasan.

Hanya kesunyian dan embusan asap rokok kretek yang menandai kehidupan Arjo. Ia sendiri saja setelah belasan tahun bercerai dari isteri yan memberinya empat orang anak. Sedangkan anak-anak –Darman, Damin, Rahyu, dan Rahmi- sudah hidup sendiri di kota lain dengan keluarga mereka. Arjo memilih sendiri saja. Bukan di panti jompo atau di asrama para tuna wisma. Ia masih mampu membayar sewa kamar meski sering nunggak. Dan kali ini nunggak dua bulan. Itu berarti dua kali tujuh ratus lima puluh ribu rupiah. Kemna uang sebanyak itu harus didapat?

Di ruang sebelah, yang dibatasi tripleks, hidup suami-isteri pemilik rumah. Suara si isteri terdengar sedang sibuk di dapur. Arjo terbatuk beberapa kali. Ia segera menyeruput air putih panas yang ada di meja dekat tempat tidur.

“Tumben belum berangkat, Bang!” uap Tante Martje dari balik dinding, dengan suara melengking. “Sudah banyak uang, ya?”

“Enak dong kalau banyak uang, Tante Marjte. Ini uang cekak pakai diberi penyakit segala. Kemarin kena musibah, sepeda ditabrak orang. Kalau hari ini dipaksain ngojek takut malah sakitnya lebih parah. Mending di rumah saja meski Cuma puny air putih dan rokok beberapa batang. . . . .hehe!” jawab Arjo jujur.

Ritual paginya memang nya segalas air putih panas dan rokok. Itu juga karena tida punya kopi, tidakpunya gula. Hiodup sebagai duda tua dengan penghasilan sangat kecil dan tidak pasti mengharuskannya sangat berhemat. Kalau pas punya uang yang bisa makin nasi padang, sambil minum air gupigula, serta mengisap rokok kretek kesukaan Dji Rho Loe.

“Sakit parah atau bagaimana? Kenapa tidak dibawa ke dokter?” desak Tante Martje penuh perhatian.

“Ah, ini sih sakit biasa saja. Ada luka di betis yang sudah dijahit, ada memar dan lebam sudah diurut-urut sendiri, dan ada pula sakit kanker alias kantong kering. Maka tidak ada lasan untuk pergi ke dokter….!” jawab Arjo sambil menyedot batang rokoknya pada isahan pertakhir. Lalu bibirnya dimonyongkan untuk mengembuskan asap menjadi buti-butir putih yang melayang sejenak lalu buyar tertiup angin dari luar jendela. Bersamaan dengan itu punting yang tinggal dua senti itu dilemparkan ke bawah pohon nangka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline