Lihat ke Halaman Asli

Sugiyanto Hadi Prayitno

TERVERIFIKASI

Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

(Novel FC)Cinta yang Menua # Bab I – Empat

Diperbarui: 21 Maret 2016   23:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="sepeda ringsek"][/caption]

Cerita sebelumnya : bab 1 - satu, bab 1 - dua, bab 1 - tiga

Wasi terpelanting dari boncengan. Wajahnya pucat ketakutan. Dalam hitungan detik tubuhnya sudah tergeletak di tepi jalan beraspal. Terasa nyeri mendadak di pundak dan tangan kiri, namun lebih nyeri hatinya karena malu. Seketika orang-orang merubung. Banyak yang inin menolak, tapi Wasi dengan cekatan berdiri sendiri meski sempoyongan, kepala terasa pening mungkin karena benturan.

Sedangkan Arjo Kemplu terpental bersama batang sepeda ke arah aspal sehingga tangan dan wajahnya lecet dan berdarah. Kemacetan di kawasan Jalan Kelabang Hitam itu tambah macet. Campuk aduk suara klakson, deru mesin mobil, suara knalpot, dan aneka teriak dengan berbagai kepentingan orang yang berbeda membuat pagi bukan main riuh.

“Ayo kita tolong korbannya. Maaf yang lain cari mobil untuk membawa korban ke rumah sakit terdekat. Sementara yang lain harap minggir dulu.. . . .” ujar seorang ibu pengendara sepeda motor yang bertindak cekatan. Dari seragamnya ia seorang pegawai negeri yang hendak berangkat ke kantor.

“Sebentar lagi petugas akan datang untuk mengamankan pengemudi mobil. Diperkirakan tabrakan terjadi karena ada unsur kesengajaan.. . . . .!” sambung seorang Satpam Hotel yang kebetulan berada di tempat itu.

Arjo dan Wasi memang berdarah cukup banyak. Mesti dibawa ke rumah sakit. Kemacetan parah tidak memungkinkan untuk menunggu ambulance. Jadi dengan kendaraan apa saja korban dibawa. Yang penting aliran darah harus cepat dihentikan dulu sampai tindakan lanjuran di rumah sakit.

Di atas sebuah minibus sewaan dengan malu-malu Arjo meminta maaf atas kecerobohannya. “Saya  minta maaf, Neng. Mungkin tadi saya agak terlena karena tidak berkonsentrasi mengemudi sepeda. . . . . . !”

 “Tidak apa, Bang. Namanya juga musibah. Tapi saya harus memberitahukan secepatnya ke Produser acara saya supaya ia cepat cari pengganti. Waktu tinggal sepuluh menit lagi, apa mungkin?”  ujar Wasi sopan meski dalam hati timbul rasa dongkol. Lalu dengan spontan ia lontarkan juga kedongkolan itu. “Tapi ngomong-ngomong, Bang, jangan-jangan selama perjalanan selalu melamun? Atau melihat kesana-kemari terlebih jika ada cewek cantik lewat, jadi tidak konsentrasi.. . . . .!”

“Mengherankan memang, setua saya ini masih. .. . .”

“Masih apa, Bang?”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline