[caption caption="Sosok Stephen King - novelis. Sumber: litreactor.com"][/caption]Saya tersentuh membaca tulisan seorang Kompasianer yang merasa terhina bahkan dilecehkan karena honor tulisan artikel web, online, atau artikel blog sangat rendah. Tersentuh, mungkin sedikit terharu. Mendapati kenyataan pahit.
Uang seratus tiga puluh ribu rupiah untuk mengganti kerepotan-kesulitan-keletihan membuat 40 artikel. Sungguh itu dirasakan sangat tidak sepadan dengan jerih payah yang sudah terlanjur dikeluarkan. Terhina? Adakah penjelasannya?
Merenung dan Mencari Uang
Saya mencoba merenung, dan sekilas-sekilas mengingat nasib diri sendiri akhirnya. Saya sering marah pada diri sendiri, kenapa juga repot-perot-perih-rintih mau menulis di blog gratisan. Kenapa pula? Jadi sebenarnya masih mendinglah dibayar, berapapun, sebab banyak blog yang menerima tulisan dengan sukarela saja, sama sekali tidak ada bayaran.
Bayarannya –kalau boleh disebut bayaran- ya rasa bangga, rasa terhormat, terkenal/dikenal, banyak teman, dan dapat berbagi dengan teman-teman. Nilai itu boleh jadi jauh lebih tinggi dibandingkan bayaran berapapun. Setidaknya, bila kita menanam kebaikan suatu ketika kelak bakal memanen kebaikan pula.
Ah, tapi masak sih berkutat sampai begitu rupa dibiarkan merasa? Apa dikira orang-orang sudah tidak perlu penghasilan, tidak perlu uang untuk makan/minum, beli pulsa, beli bensin? Kalau keahliannya semata menulis apa harus terus berpuasa? Tapi mengapa juga mencari uang dengan menjadi penulis.
Bukankah saat ini setiap orang sudah menjadi penulis (minimal status), sudah menjadi fotografer (minimal selfie), sudah menjadi pengamat (bahkan menjadi haters dan lovers permanen). Bukankah sudah terpuaskan dari sana? Kenapa juga mikirin duit? Hehehh!
Bukan Mencari Uang
Kata ‘mencari dan mendapatkan’ hampir semakna. Namun prosesnya sangat berbeda. Dan dengan ‘bahasa’ yang khas ada penulis yang mengatakan bahwa mencari uang dengan/dari menulis adalah salah.
Lalu bagaimana dengan profesi jurnalis, copywriter, penerjemah buku, penulis scenario? Bagaimana pula dengan pekerjaan juru ketik kantor, tukang ketik skripsi, dan juga penulis artikel maupun fiksi di media massa?
Hal itu dikemukakan novelis Amerika Serikat Stephen Edwin King. Dalam bukunya Stephen King on Writing, novelis dengan lebih dari tiga puluh buku best-seller di dunia itu menyatakan: menulis bukanlah untuk mencari uang, menjadi terkenal, mendapatkan teman kencan, menjadi mapan, atau memperoleh banyak teman. Pada akhirnya, menulis adalah untuk memperkaya hidup orang-orang yang akan membaca karyamu dan memperkaya hidupmu sendiri pula. Tujuannya adalah bangkit, sembuh, dan mengatasi keadaan.
Namun bila kita membaca keseluruhan buku memoar dengan gaya autbiografi itu tentu tidak sulit memahami bahwa pernyataan itu mengandung maksud edukatif sangat baik. Ya, maksudnya asah dan tingkatkan kemampuanmu membaca dan menulis hingga setinggi mungkin untuk suatu ketika uanglah yang mencarimu (bukan sebaliknya).
Membaca dan Kreativitas
Membaca adalah pusat kreatif kehidupan seorang penulis. Ya, itulah pelajaran Stephen King paling awal bagi setiap penulis: membaca. Lengkapnya berbunyi, “Kalau kamu ingin menjadi penulis, ada dua hal yang harus kaulakukan: banyak membaca dan banyak menulis”.