Lihat ke Halaman Asli

Sugiyanto Hadi Prayitno

TERVERIFIKASI

Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Demam Menulis Surat, Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Diperbarui: 20 Oktober 2015   15:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="menulis, semudah itukah?"][/caption]Menulis surat kok jadi deman ya? Nggak tahu kenapa, tapi ada rasa nostalgia juga di situ. Sebuah surat sebenarnya hanya teknik menulis saja. Yang biasa menulis di buku harian paling banyak menggunakan gaya itu. seperti orang bertutur, ada tanya-jawab, dengan bahasa yang tidak kaku dan lebih familier sesuai tingkatan usia (anak-anak, remaja, dewasa, lanjut/tua).

Surat menandai zaman dulu, entah berapa tahun, belas tahun, atau bahkan puluh tahun ke belakang. Kala itu surat selalu terkait dengan tulis tangan, berbasa-basi dalam tulisan, ada maksud berkhabar-berita serta kepentingan tertentu. Selain itu surat tak dapat dilepaskan dari peran kantor pos, kertas-amplop-perangko dan pak pos.

Jarak alamat tujuan dan waktu tempuh yang memunculkan rasa kepenasaranan para pelakunya tempo doeloe (pengirim, si alamat, dan keluarga keduanya) menjadikan surat dan kegiatan surat-menyurat (filateli) sebuah kenangan tak tergantikan.

Demam, Gairah

Demam kali ini (baca di Kompasiana) disebabkan event (baca iven) yang dibuat Fiksiana Community beberapa waktu lalu. Ada nuansa lomba di situ, mwaki tidak ada iming-iming hadiah. Dan selebihnya, yang memacu adrenalin terpacu tak lain adalah adanya kata rivalitas, persaingan, unjuk gigi dan gusi, serta ‘pamer’ potensi. Sah-sah saja itu, dan tentu tidak ada yang salah, dan memang lumayan heboh, riuh, ramai, dan penuh sorak-sorai.

Saya merasakan betul atmosfir silih asah-asih-asuh, dan dibalik itu ada atmosfir ingin jadi yang terbaik-terhebat-terjempol- dan aneka ter-lain yang mencengangkan aneh-lucu-semu- dan cukup mengganggu. Kreativitas selamanya memunculkan ketakterdugaan, pun dalam menulis surat. Surat ditujukan kepada siapa saja: kawan/lawan,  tua/muda, seseorang/banyak orang, kenal/tidak kenal, dan cuma ngarang (mengkhayal, berandai-andai, sok akrab sok dekat, ramah/marah, menasehatai/menggurui/memotivasi….).

Batas waktu penutupan lomba telah berlalu, dan tinggal menunggu pengumuman; namun gairah menulis dengan menggunakan teknik dan gaya bersuratan agaknya belum surut.

Filateli, Esensi

Menulis surat, berbeda dengan banyak bentuk tulisan lain, memiliki aturan dan ketentuan yang hampir baku. Di sana ada dua pihak yang jelas identitas dan alamatnya, yaitu pengirim dan penerima. Soal identitas ini menjadi persoalan rumit ketika media sosial pun sering digunakan untuk surat-suratan, karena identitas pengirim sering disembunyikan sedemikian rupa sehingga memunculkan ketidaknyamanan.

Menjadi sangat idak nyaman, sebab dengan berlindung dibalik topeng dan identitas palsu, para penulis dengan gagah berani menghujat, menumpahkan sumpah-serapah, memfitnah, dan mengadu-domba kepada pihak lain. Yang paling miris adalah kelakuan para pecundang itu dengan giat memproduksi berita palsu, menyebarluaskan informasi/berita menyesatkan, dan berbagai kelakuan buruk lain.

Dalam filateli bukan tidak ada tindakan pengecut itu. Surat tanpa atau dengan identitas palsu disebut sebagai surat kaleng. Isinya mulai dari pengaduan, ancaman, hingga fitnah, dan hingga upaya pemerasan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline