Selembar kaca bening dan seutas kawat melingkar di kelopak mata menemaniku setia pada setiap peristiwa yang tergambar pada huruf-huruf kabur pagi demi pagi. Bahkan telah kulupa gambarmu sebab tak kudapati tanda baca atau sesuatu yang menandai sosok yang mampu ku eja
Mungkinkah lantaran hari meremang menuju petang, atau cuaca yang suram disaput asap kebakaran hutan, barangkali juga karena angin bertiup keras pada koran tua yang tercecer di meja taman tanpa atap. Yang kurasakan tak lain hanya rasa lelah, dan tak seharusnya kusalahkan kaca bening itu
Lalu batang kayu penyangga tubuh ini, tergeletak kaku di rerumputan yang meranggas mencemasi kemarau yang makin panas. Serupa kemarau pula kukira suasana hati ini meniti tiap tetes darah yang harus kulepas membuka setapak jalan menuju ufuk
Sepasang sandal kulit usang dan makin keriput dimakan waktu ini pun menjadi sahabat dekat yang rajin menghitung-hitung langkah kaki, saaat harus tertatih menyongsong harapan yang tersembunyi di balik suara bebatuan memecah sepi, di ujung jalan berkelok keduanya tertinggal terpisahkan dari kaki-kaki yang terus melangkah jauh
Sarung rombeng ini bermotif batik yang kusut namun setia membebat diri dan hati, hingga tak terasa lagi keluh ngilu terlebih gigil yang menggilakan pada malam larut, pada sujud, pada takut, pada maut yang membayang-jelang meraut detik demi detik, mengelupaskan selembar jiwa yang pasrah beranjak pulang….
Bandung, 29 Juli 2015
--
Sumber gambar: https://myfitriblog.wordpress.com/2014/06/27/hikmah-berserakan-disaat-daku-tua-by-dwikisetiyawan/
--
Simak juga tulisan sebelumnya: