Lihat ke Halaman Asli

Sugiyanto Hadi Prayitno

TERVERIFIKASI

Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Kenanglah yang Terindah Saja, Bandung Minggu Ini

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14294093791287463165

[caption id="attachment_411099" align="aligncenter" width="560" caption="Sumber gambar-  rinaldimunir.worpress.com"][/caption]

Kenanglah yang terindah saja. Ini obrolan soal kondisi kota kita, kota-kota di negeri ini pada umumnya. Dan itulah nasehat saya kepada siapa saja yang suka mengeluh, menyindir, kecewa, prihatin, dan perasaan lain apa saja yang bermuara pada rasa tidak puas.

Sebab memang tidak setiap hari dapat kita temukan hal-hal baik, indah, meriah, mengesankan atau perasaan lain serupa itu. Sungguh tidak setiap minggu, bahkan juga tidak setiap bulan. Jadi setahun sekali saja pun tak mengapalah. Karenanya rasakan, resapi, nikmati. Setelah itu kenang, kenanglah yang terindah saja….!

Oh ya, coretan awal itu terkait dengan Kota Bandung. Lebih tepatnya Bandung jelang penyelenggaraan Peringatan ke-60 Konferensi Asia Afrika pada hari Jum’at, 24 April 2015 mendatang.

Beda Dulu dengan Sekarang

Sulit menjawab pertanyaan orang yang membandingkan suasana kota dulu, beberapa tahun bahkan beberapa puluh tahun lalu, dengan sekarang. Tapi pertanyaan dan pernyataan tentang itu selalu muncul. Dan sering memang tidak memerlukan jawab. “Wah, sekarang Bandung panas ya?”, atau “Bandung macet, penuh sampah, tidak ramah ya?”, yang lain lagi “Bandung sekarang makin amburadul, hujan sebentar saja semua jalanan banjir, pokoknya nggak nyaman, nggak seperti dulu…..!”

Kita sering lupa bahwa dulu itu adalah lampau, belum berubah seperti sekarang. Bertambahnya jumlah penduduk, bertambahnya aneka bangunan, bertambah pula kesibukan dan aneka-rupa sarana-prasarana. Satu hal yang pasti berbeda: saat itu umur kita tidak setua sekarang. Mungkin masih gagah, mungkin belum berkeluarga, dan juga mungkin belum mapan secara sosial-ekonomi. Maka jelas berbeda pula perasaan, emosi, pemikiran, maupun tanggapan kita terhadap apa saja yang kita hadapi dulu dan sekarang.

Terkait dengan Kota Bandung, bila kita menemukan banyak keprihatinan (seperti sudah saya sebutkan di atas) maka hapuslah semua ingatan dan kenangan itu dengan apa yang terlihat pada beberapa hari ini. Pusat Kota Bandung, khususnya seputaran Gedung Merdeka, dengan kondisi yang telah dipersolek sedemikian rupa, menantang kita untuk menikmati dan mematrinya dalam ingatan kita, agar kita selalu ingat Bandung memang indah, cantik, menarik, mengesan, dan kata lain serupa itu.

Abadikan dalam foto, lukisan, tulisan, dan atau kreasi lain yang menggambarkan betapa mempesonanya Kota Bandung. Abaikan ungkapan lain yang menggambarkan keadaan sebaliknya.

Sikap serupa tentu perlu kita terapkan pada kota-kota lain di Tanah Air tercinta ini. Tidak hanya Bali, Batam, Raja Ampat, Yogyakarta, dan kawasan wisata lain. Semua kota provinsi serta kota/kabupatennya –dari Sabang sampai Merauke- niscaya menyimpan daya tarik dan daya magnit yang luar biasa bagus untuk dikunjungi dan dikagumi. Luar biasa indah untuk dikenang. Bandung dengan hajatan peringatan KAA, kota lain dengan event lain pula.

Sabar, Sadar, Ikhlas

Menjadi bangga dan senang dan menerima apa adanya memang bukan hal mudah untuk dilakukan. Terlebih kadang kita salah bersikap. Terlalu gampang terbujuk oleh apa saja yang serbaasing, sambil mengabaikan dan melupakan produk, kreasi maupun kearifan lokal yang tak kalah bernilai.

Oleh sebab itu diperlukan kesabaran, kesadaran, dan keikhlasan untuk kembali pada diri sendiri, budaya, kelokalan,  keunikan, dan apa saja milik sendiri. Perlu terus dikenali dan dipupuk rasa bangga pada diri dan kemampuan dan kepemilikan sendiri.

Pada peringatan KAA nanti sekitar 40 kepala Negara dari dua benua, yaitu Asia dan Afrika akan hadir di Bandung (selain Jakarta), dan mereka akan disuguhi kondisi siang dan malam kota dengan segenap keindahan, kekayaan, kelokalan, dan keunikannya. Tentu saja biayanya tidak murah, tidak mudah, terutama juga bukan tanpa pengorbanan. Berbagai berita mengenai persiapan dan kesiapan semua aspek penyelenggaraan acara telah dibuat jauh hari. Tentu kita semua berharap hajatan itu berlangsung lancar, meriah, aman, dan sukses.

Penutup

Bandung setelah peringatan KAA akan kembali pada kondisi biasa: pasar tumpah, lalu-lintas  semrawut, PKL merajalela, lubang-lubang jalanan menganga lebar, banjir Cileuncang, sampah berserakan di pinggir jalan, angkot berebut penumpang, sungai penuh sampah, dan  entah apa lagi.

Bila kondisinya kembali pada sediakala maka tugas kita semua adalah tidak terlalu memperhatikan, tidak terlau peduli, jangan pusing, jangan nyinyir dan cerewet menuntut ini-itu. Nikmati saja apa yang ada, apa yang terjadi, dan apa yang dapat dimanfaatkan. Tapi tolong jangan banding-bandingkan dengan masa lalu. Tolong jangan dimasukkan di dalam hati.

Jadi pesan saya sekali lagi: kenanglah yang terindah saja, yang lain buang di tong sampah. Tentu kecuali Ridwan Kamil segalak Tri Rismaharini. Kalaupun tidak ya tidak mengapa. Setidaknya kita sudah punya kenangan terindah, yaitu pada saat peringatan ke-60 KAA.

Begitu saja coretan ini, mungkin ada yang mau menambahkan dengan ide lain. Tulislah sebagai sumbangsih Kompasiana pada hajatan nasional itu. Terimakasih bagi yang bersedia singgah. Mohon maaf kekurangannya. Wassalam.

Bandung, 19 April 2015




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline