Lihat ke Halaman Asli

Sugiyanto Hadi Prayitno

TERVERIFIKASI

Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Ayo Memilih, Meski Tak Punya Pilihan

Diperbarui: 20 Juni 2015   05:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hari ini kampanye dua pasangan capres-cawapres dimulai. Dan bagi yang sudah punya pilihan tinggal mencari penguatan atas argumentasi dan dasar pemikiran apa hingga kita kukuh memilih satu diantara dua pasangan itu.

Apa yang kita lihat dan dengar serta apa yang kita baca, dari banyak sumber informasi, mungkin perlu dikritisi kembali, sehingga pilihan ini lebih berkualitas. Pilihan itu berkonsekuensi lima tahun, bahkan harus dipertanggungjawabkan dunia-akherat. Diibaratkan dalam sholat, saatnya kembali mencari Imam terbaik sebelum kita menjadi makmum di belakangnya.

Karena pilihan hanya dua, maka argumentasi seseorang memilih juga lebih sederhana. Pertama, menilai pasangan A buruk lalu memilih pasangan B, atau sebaliknya menilai pasangan B buruk maka memilih pasangan A. Kedua, menilai pasangan A lebih baik maka memilih pasangan A, dan sebaliknya menilai pasangan B lebih baik maka memilih pasangan B.

Ketiga, orang yang telah memiliki hak pilih tapi tidak punya pilihan. Argumentasinya, yaitu kedua pasangan sama-sama baik, kedua pasangan sama-sama jelek, tidak tahu pasangan mana yang jelek dan pasangan mana yang lebih baik, atau tidak peduli. Jalan keluar bagi pemilih ketiga ini yaitu memilih dengan mengikuti apa kata orang lain (mengikuti suara partai, orangtua, suami/isteri, saudara, tetangga, kenalan, guru, kyai, tokoh masyarakat, dsb.); atau sebaliknya  menjadi golput, alias tidak mencoblos dan kalaupun mencoblos membuat surat suara tidak sah.

Kelompok pemilih ketiga ini agaknya yang terbanyak. Tiga puluh persen lebih suara pada Pileg lalu memilih golput. Memang itu sah-sah saja, semua pilihan harus dihargai. Demikianpun ketika angka golput makin meninggi harus dicurigai ada sesuatu yang salah, tidak tepat, atau semangat dan praktek berdemokrasi kita belum terkomunikasikan dengan baik.

Bahasan untuk pemilih ketiga ini agak panjang sebab sejarah pernah mencatat adanya perpecahan dan pertikaian keluarga, ada kekerasan dan bahkan pembunuhan karena perbedaan pilihan politik. Atas dasar itu tindakan tidak punya pilihan dianggap paling pas, aman dan nyaman.

Nah, sekarang untuk pemilih pertama dan kedua, yang memilih atas dasar penilaian baik-buruk, atau lebih baik dan lebih buruk, perlu lebih kritis. Teliti kembali dasar argumentasi dan kalkulasi pilihan. Barangkali selama ini berpijak pada informasi yang sesat (memilih dan memilah informasi untuk membuat satu pasangan yang akan dipilih tampak lebih baik atau sebalikya satu pasangan yang tidak akan dipilih tampak membuat lebih buruk),  atau sengaja disesatkan (tidak didasari data, fakta maupun peristiwa yang sebenarnya).

Beredarnya SMS yang menyudutkan, tabloid provokasi yang menyerang, pembuatan pemberitaan yang palsu (berita kematian dan surat palsu), laporan dan wawancara media cetak dan elektronik partisan, serta pembakaran posko salah satu relawan pasangan capres-cawapres, mungkin saja memberi pengaruh atas pilihan seseorang. Namun bagi masyarakat yang berpikir kritis, tidak akan mudah percaya, minimal akan mencari berbagai referensi lain sebagai pembanding.

Betapa penting dan bernilainya tiap suara yang kita miliki, karena itu ayo memilih pada 9 Juli 2014 nanti, berusaha untuk memilih, meski mungkin kita tidak punya pilihan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline